Rabu, 23 Juni 2010

Melantjong ke Rio, mengikis stereotip

Orang-orang mungkin sedang sibuk mencari berita terbaru tentang skor terakhir piala dunia atau kelanjutan kasus video Ariel-Luna-Cut. Di lain pihak berita-berita tentang kebudayaan selalu muncul sekilas dan seperlunya.

Seorang kawan yang saya kenal secara daring, bahkan hingga sekarang belum saya temui di dunia nyata telah menapaki lagi satu anak tangga keberhasilan dengan proyeknya. Tahun lalu ia bertanya padaku tentang program kuliah yang kuikuti. Kemudian ia menginisiasi sebuah kegiatan wisata yang dinamainya Melantjong Petjinan Soerabaia. Di luar dugaan, proyek kecil-kecilan ini mendapat respon positif dan berkembang dengan baik. Ia baru saja kembali dari Rio de Janeiro, Brasil, dalam rangka memenuhi undangan dari UNAoC (United Nation Alliance of Civilization). 

Dalam presentasinya ia menyampaikan bahwa motifnya memulai kegiatan wisata budaya tersebut adalah untuk mengikis stereotip negatif terhadap warga etnis Tionghoa di Indonesia. Ya, Indonesia memang kaya dengan berbagai stereotip. Sayang kebanyakan stereotip maknanya negatif. Saya teringat beberapa tahun lalu di bangku kuliah teman-teman saya sering bercanda tentang stereotip. Misalnya: Jawa identik dengan pembantu, Sunda yang matre, Batak yang kebanyakan berprofesi sebagai sopir angkot di kota saya atau Padang sang pemilik fotokopi dan rumah makan. 

Stereotip tidak selalu benar. Contohnya saya yang keturunan Sunda-Jawa tidak menjadikan saya 'pembantu matre'. Namun harus diakui bahwa stereotip sangat mengganggu aliran komunikasi dan integrasi masyarakat.

Isu stereotip yang sekarang merebak di dunia adalah Islamophobia dengan berbagai aksi terorisme yang mengatasnamakan Islam. Inilah yang memperburuk nama Islam dan membuat orang luar tidak percaya dengan ajarannya. Belum lagi komunitas Islam keras di tanah air yang kadang mengusik ketertiban umum dan merusak dengan dalih demi penegakan syariah. Saya sendiri yang seorang muslim kadang merasa tidak nyaman dengan aksi mereka yang terkadang agresif. Padahal dulu walisongo pun saling menghormati meski mereka terbagi ke dalam kelompok santri dan abangan. 

Warga Tionghoa Indonesia pun telah hidup dalam stereotip yang diciptakan pemerintah kolonial yang berlanjut hingga setelah kemerdekaan. Di jaman orde baru, segala sesuatu yang berbau China dilarang dengan isu komunisme (ketika itu China inland berubah haluan menjadi negara komunis). Padahal sebagian besar warga Tionghoa Indonesia telah tinggal selama ratusan tahun di tanah air dan secara tidak langsung telah putus hubungannya dengan negara induk. 

Hari ini, warga Tionghoa identik dengan pengusaha kaya. Masyarakat lupa bahwa etnis Tionghoa pun ada kelas rakyat jelata yang hidupnya biasa-biasa saja. Ambillah contoh warga China Benteng di Tangerang. Dua bulan lalu mereka terancam digusur dari tempat tinggalnya tanpa penggantian dari pemerintah. Siapa yang membantu mereka? Entah bagaimana kelanjutan kasus itu, belum sempat saya cari lagi beritanya.

Berkat kepemimpinan almarhum Gus Dur yang pluralis, kebudayaan etnis Tionghoa kembali diakui, bahkan Imlek menjadi salah satu hari besar nasional. Ada baiknya membaca tulisan-tulisan karya T.H.Pigeaud dan H.J. de Graaf, Slamet Muljana, Denys Lombard untuk mempelajari sejarah dan perkembangan etnis Tionghoa di Indonesia.

Stereotip membuat orang kehilangan kepercayaan dan menaruh curiga terhadap hal-hal yang asing baginya dan terjadi karena ketidaktahuan. Pembukaan wawasan budaya dan pengenalan sejarah adalah hal penting untuk memahami sebab akibat dari segala sesuatu yang kita pertanyakan hari ini, dan hal itu juga mendorong masyarakat untuk berpikir lebih kritis tanpa menghakimi.

*Catatan tambahan: Contoh lain usaha mengikis stereotip negatif dilakukan oleh Shah Rukh Khan melalui filmnya "My name is Khan (but I'm not a terrorist)".

2 komentar: