Senin, 29 November 2010

Antara Bandung dan Weltevreden, Belanda gagal memindahkan ibukota, benarkah?

Pagi ini saya mengikuti sebuah kuliah umum oleh seorang sejarawan arsitektur dari TU Delft, Belanda. Nama pembicara adalah Pauline van Roosmalen. Beliau menyampaikan paparan disertasinya mengenai sejarah rancang kota (atau dalam bahasa Inggris populer dengan nama Town Planning) di Dutch East Indies (DEI) dan Indonesia. Rentang periode yang diambil adalah 1905-1951.

Dari hasil kajiannya mengenai sejarah rancang kota di Nusantara, pada akhir sesi, saat menjawab satu pertanyaan yang berkaitan dengan konservasi, van Roosmalen menyatakan bahwa upaya konservasi adalah sebuah kegiatan yang kompleks karena menyangkut berbagai lapisan urban. Kemudian ia juga menyampaikan, sebagai contoh (untuk jawaban dari pertanyaan yang lain) bahwa pemerintah Hindia Belanda telah gagal dalam memindahkan ibukota dari Weltevreden ke Bandung. 



Namun benarkah upaya itu gagal? Apa sebenarnya yang menyebabkan kegagalannya? Mari kita lihat sama-sama.

Jadi, keinginan pimpinan DEI untuk pindah ke Bandung sudah ada sejak tahun 1825. Saat itu Bandung masih merupakan kampung atau desa dengan jumlah penduduk yang bisa dihitung dengan jari yang kemudian berkembang dengan puat kota model Jawa lengkap dengan alun-alunnya. Kemudian jalan pos dibangun, menyusul kemudian rel kereta api. 

Perencanaan Bandung yang sesungguhnya baru dimulai pada tahun 1917 dengan rancangan perluasan kota yang dibuat oleh F.J.L. Ghijsels. Dalam rancangan ini, oleh karena pemerintah DEI merencanakan Bandung sebagai pusat pemerintahan yang baru, maka rancangan kota pun dilengkapi dengan berbagai fasilitas pendukung seperti pusat komando militer. Kota Bandung bahkan dilengkapi dengan area pendidikan tinggi sebagai salah satu penerapan politik etis yang berlaku saat itu. Bandung, menurut van Roosmalen, memiliki rancangan kota paling menyeluruh dibanding rancangan kota-kota lain karya pemerintah Belanda di Indonesia.

 
Peta Bandung Lama

Rancangan perluasan Bandung di utara pusat kota lama memiliki luasan lebih besar dibanding pusat kota lama beralun-alun di selatan kota. Pada tahun 1929 rancangan kota Bandung diperbarui oleh G. Hendriks. Namun sayang, rancangan ini tak bisa dilaksanakan karena krisis yang melanda dunia ketika itu. Tahun 1938, penambahan rancangan kembali dilakukan. Kembali, nasib malang menimpa DEI, empat tahun kemudian perang dunia ke-2 pecah dan rencana pemindahan ibukota ke Bandung ditunda untuk waktu yang tidak ditentukan.

Proses perancangan dan pembangunan sebuah kota adalah proses panjang yang memakan waktu bertahun-tahun. Pemerintah DEI merancang Bandung dari nol, dari lahan kosong yang tidak berpenghuni (berpenghuni sedikit). Ketika pembangunan dimulai, maka warga pun mulai berdatangan karena tertarik dengan kota baru yang menawarkan berbagai fasilitas dan nilai-nilai lebih seperti udara yang lebih sehat dan segar. Kota hasil rancangan di atas kertas secara bertahap dibangun menyesuaikan dengan kondisi (sosial, politik, keuangan) saat pembangunan berlangsung. Penyesuaian-penyesuaian rancangan sudah tentu tak bisa dihindari. Bahkan penundaan pembangunan karena keterbatasan dana bukanlah hal aneh.

Krisis keuangan yang menimpa dunia tahun 1929, dikenal juga sebagai Wallstreet crash benar-benar memukul perekonomian dunia, tak terkecuali DEI. Proses pembangunan terhambat, pemulihan ekonomi pun tak berjalan instan. Tidak mengherankan jika rencana pemindahan ibukota pun tertunda.

Sepuluh tahun kemudian, perang pecah di Eropa, disusul pecahnya perang di Asia yang mengakibatkan PD II dua tahun kemudian. Dalam keadaan seperti ini, kondisi negara yang belum pulih 100% dari krisis keuangan global, diikuti peperangan yang menghancurkan, sangat tidak mungkin bagi negara manapun untuk memindahkan pusat pemerintahan. Konsentrasi dipusatkan pada pertahanan wilayah. Meskipun demikian, DEI akhirnya jatuh ke tangan Jepang pada tahun 1942.

Tahun 1945, Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya, pemerintahan DEI dinyatakan berakhir oleh pemimpin Indonesia. Hal ini diikuti dengan periode lanjutan yang dikenal sebagai periode Bersiap. Periode ini berlangsung antara 1945-1950. Ketika itu, seluruh warga Eropa dan keturunan Eropa dipaksa keluar dari Indonesia. Tahun 1957 hampir semua warga Eropa dan keturunan Eropa keluar dari Indonesia. Masa-masa tersebut merupakan masa kritis di mana masih terjadi peperangan antara Indonesia dan Belanda. Proses pembangunan dan rehabilitasi pasca perang hampir tidak mungkin dilakukan kecuali di beberapa daerah yang relatif aman.

Dapat kita lihat bahwa proses persiapan Bandung untuk menjadi pusat pemerintahan menggantikan Weltevreden bisa dikatakan dimulai tahun 1917. Hingga terjadinya krisis keuangan, proses persiapan dan pembangunan telah berjalan lebih kurang 10 tahun, masa yang sangat singkat untuk pembangunan sebuah kota. Masa-masa berikutnya bisa dikatakan proses pembangunan terhenti karena krisis dan perang. kegagalan memindahkan pusat pemerintahan bukan dikarenakan faktor internal, melainkan oleh sebab eksternal. Dengan kata lain, gagalnya pemindahan pusat kota ini adalah karena adanya force majeur yang tidak bisa dihindari dan tidak mungkin diantisipasi. Hal ini bisa diibaratkan seperti proses membangun rumah yang gagal karena badai besar yang datang mendadak.

Jadi, pemerintah DEI sebetulnya tidak bisa dikatakan telah gagal dalam upaya memindahkan pusat pemerintahan DEI dari Weltevreden ke Bandung karena proses pembangunan kota bukanlah hal yang bisa dilakuan dalam waktu singkat. Kondisi sosial politik ekonomi yang stabil adalah prasyarat dalam pembangunan sebuah kota baru. Waktu yang diperlukan pun tidak sedikit karena kondisi sosial politik ekonomi tadi tidaklah stagnan, tetapi dinamis dan selalu berubah. Jika perubahan itu masih dalam batas normal, maka pemerintah DEI bisa jadi akan berhasil dalam upaya pemindahan pusat pemerintahan tersebut. Namun force majeur  yang terjadi tanpa terduga dengan level kerusakan tinggi pastilah menghambat upaya itu. Malah akan sangat ajaib jika pemerintah DEI berhasil pindah dari Weltevreden ke Bandung dalam kondisi negara yang kritis.

Keterangan tambahan:
Jakarta terdiri dari kumpulan kota-kota kecil buatan Belanda. Kota pertama adalah Batavia. Kemudian di arah Selatan Batavia dibangun kota baru bernama Weltevreden (masih Jakarta). Menyusul kemudian Menteng. 
Awal pemerintahan di Maluku yang kemudian dipindahkan ke Batavia. Oleh karena kondisi sanitasi Batavia buruk, maka pemerintahan kemudian dipindahkan ke Weltevreden. Dari Weltevreden inilah kemudian muncul rencana pemindahan pemerintahan ke Bandung.


Minggu, 21 November 2010

Kabale und Liebe

Enaknya tinggal di Eropa, pelajar mendapat keistimewaan terutama dalam hal pemberian tarif khusus untuk berbagai fasilitas umum. Di antara fasilitas umum yang bisa dinikmati pelajar dengan harga khusus, alias dapat diskon, di antaranya adalah museum, transportasi umum, tempat wisata bersejarah, dan teater.

Musim dingin itu, diiringi rasa lelah dan malas, juga sedikit bt karena kejadian siang harinya, saya menyeret kaki menuju Staatstheater kota Stuttgart. Bersama beberapa kawan saya menonton pertunjukkan teater.  Kami mengantri karcis menjelang pukul 18, karena pada saat itu biasanya ada beberapa pengunjung yang membatalkan rencana sehingga karcis bangku mereka dijual dengan harga sangat miring, hanya 7 euro saja.  Pertunjukkan baru mulai pukul 19.30. 


Pertunjukkan yang saya ikuti berjudul Kabale und Liebe (intrik dan cinta). Kisah roman mirip Romeo dan Juliet versi Jerman yang ditulis oleh Friedrich Schiller, seorang sastrawan Jerman dari abad ke-18. Kabale und Liebe mengisahkan Ferdinand von Walter, anak bangsawan, yang jatuh cinta pada Luise Miller, putri seorang musisi kelas menengah. Hubungan mereka ditentang orang tua masing-masing dan mereka diminta untuk mengakhiri hubungan tersebut. Ferdinand direncanakan untuk dijodohkan dengan Lady Milford, gundik sang ayah. Si Lady sih suka-suka saja dengan Ferdinand, tapi Ferdinand cuma cinta Luise. Akhirnya Ferdinand pun berontak dan ngajak Luise kabur.


Rencana Ferdinand dijegal ayahnya. Bersama sekretarisnya, Wurm, yang juga saingan Ferdinand, sang ayah menahan orang tua Luise. Luise dipaksa membuat surat yang harus dia tanda tangani berupa surat cinta yang menyatakan bahwa ia hanya akan dapat membebaskan orang tuanya dengan kematiannya dan sumpah pada Tuhan bahwa dia menulis surat itu atas kehendaknya sendiri, meski pada kenyataanya dia dipaksa menulis dan bersumpah. Surat itu dibocorkan pada Ferdinand. Ferdinand pun marah dan putus asa dalam kecemburuan.

Luise yang sudah terjebak dalam sumpah palsu tak punya cara lain untuk membebaskan dirinya selain dengan kematian. Luise pun sekarat di hadapan Ferdinand dan mengembalikan kasih mereka. Ferdinand pun, setelah menyadari kebenaran yang terjadi, memutuskan untuk mengakhiri hidupnya bersama Luise.

Cerita cinta dan intrik ini sekilas mirip dengan Romeo dan Juliet. Perbedaanya hanya terletak pada posisi dua keluarga tokoh yang terlibat. Dalam kisah Romeo dan Juliet, keduanya berasal dari keluarga bangsawan yang saling bermusuhan. Sementara dalam Kabale und Liebe, kedua tokoh dipisahkan oleh stratifikasi sosial. Stratifikasi inilah yang menjadi akar intrik dan permasalahan yang melatarbelakangi kehidupan pada abad ke-18. Hal ini pulalah yang disorot Schiller dalam karyanya. Schiller memposisikan karya panggungnya untuk memperlihatkan perjuangan individu melawan tekanan sosial, agama dan moral di masa itu.

Pertunjukkan berlangsung dalam bahasa Jerman dengan menggunakan bahasa sastra. Dari sekira 2-3 jam pertunjukkan, hanya 20% isi percakapan bisa saya tangkap. Sisanya saya coba mengartikan dari akting para pemain. Alhasil, hingga akhir acara, saya tak juga mendapat inti cerita. Saya baru mengerti setelah mencari keterangan tentang karya ini setelah pertunjukkan usai. Namun, pengalaman menonton teater di Jerman memberikan kesan tersendiri bagi saya.


Minggu, 10 Oktober 2010

RUU - sebuah refleksi

RUU Cagar Budaya akan segera diresmikan. Saya sempat mengikuti perkembangan draft RUU tersebut beberapa waktu lalu. sayang sekali akhir-akhir ini belum menyempatkan diri melirik draft akhir RUU yang dibuat anggota dewan. 

Dari beberapa perkembangan RUU yang saya ikuti sekitar Juli/Agustus (yang terakhir sekali belum sempat saya baca), kesimpulan saya hanya satu: RUU tersebut belum mencerminkan jiwa dan konsep konservasi lokal. Draft  RUU yang saya baca banyak mengadopsi (mengopi) konvensi UNESCO 1972 tentang bangunan bersejarah tanpa ada upaya untuk menerjemahkan intisari konvensi tersebut ke dalam ranah budaya lokal. Selain itu, draft RUU tersebut juga belum memberikan tempat pada masyarakat umum yang seharusnya juga merupakan subjek dan pelaksana peraturan untuk berpartisipasi secara aktif dalam upaya-upaya pelestarian. Hal lain yang saya perhatikan adalah kurang tegasnya hukuman terhadap pelanggaran aturan yang mengakibatkan rusak atau hilanganya cagar budaya (benda maupun tak benda).

Cagar budaya tidak bisa dilihat sebagai aset sementara seperti benda yang bisa diperjualbelikan namun harus dilihat sebagai aset dalam jangka waktu tak terhingga. Hendak dijualnya harta kapal-kapal karam (syukur akhirnya tidak jadi) menunjukkan orientasi ekonomi jangka pendek pemerintah tanpa memandang kepentingan dan investasi jangka panjang bagi generasi penerus.

Merancang sebuah undang-undang bukanlah perkara mudah. Saya pun hanya orang awam yang tidak terlalu memahami hukum. Namun saya yakin bahwa untuk mendapatkan undang-undang cagar budaya terbaik, maka para pelaku pembuatan undang-undang harus mengerti benar konsep-konsep dasar konservasi yang berasal dari budaya Indonesia, yang mana budaya Indonesia sendiri tidaklah seragam.

China, India dan Jepang sudah punya undang-undang cagar budaya versi mereka yang telah mengambil akar pada budaya mereka masing-masing. Indonesia pun seharusnya mencari konsepsi dan aturan yang sesuai dengan budaya lokal. Konsep materialis dari dunia barat yang diusung organisasi internasional tidak bisa diaplikasikan begitu saja pada kebudayaan berbeda. Indonesia, seperti juga negara Asia lainnya memiliki dasar konsep spiritual sebagai pegangan, bukan yang berdasar pada materi. Keduanya sama-sama masuk akal, hanya cara pandangnya yang berbeda. Oleh karena itu perlu adaptasi dari hukum-hukum internasional (jika ingin diaplikasikan di Indonesia) terhadap hukum-hukum lokal yang berlaku. 

Semoga saja draft RUU yang akan diresmikan sudah dimatangkan lebih baik lagi sehingga lebih menyentuh masyarakat umum dan berakar dari budaya sendiri agar bisa lebih diikuti rakyat bangsa.

Minggu, 22 Agustus 2010

Ke Hutan Hitam yuk! - Schwarzwälder Freilichtmuseum (1)

Hutan Hitam? Hutan berwarna hitam? Hutan berpohon hitam? Hutan yang saking lebatnya dijuluki hitam? Bukan lah ya. Hutan hitam yang dimaksud adalah Black Forest di Karlsruehe, Jerman, atau dalam bahasa Jerman disebut Schwarzwald

Berkunjung ke kawasan hutan ini, pengunjung tidak hanya disuguhi alam dan kegiatan lintas alam seperti hiking, di dekat hutan ini juga terdapat museum terbuka (open air museum) yang bernama Schwarzwälder Freilichtmuseum. Museum ini sengaja dibuka sebagai salah satu upaya penyelamatan kompleks hunian tradisional Jerman di kawasan Black forest yang hampir punah. 

Untuk sampai ke museum ini, dari stasiun kereta pengunjung bisa menyusuri area pertanian di pinggir rel kereta atau lewat jalan besar dengan kendaraan pribadi maupun bis. 

Salah satu pemandangan yang dilewati sepanjang jalan menuju museum.

Berjalan dari stasiun ke museum cukup melelahkan karena jarak yang ditempuh lumayan jauh sekira 20-30 menit berjalan kaki. Meski begitu, pemandangan yang dilewati tidak membosankan. Salah satunya adalah little house on the prairie ini, rumah impianku ^_^

Sampai di museum, pengunjung harus melewati ruang penerimaan tempat membeli tiket sekaligus toko souvenir sebelum memasuki kawasan museum. Di sana suasananya seperti suasana pertanian di desa, lengkap dengan peternakan dan penggilingan gandum yang benar-benar difungsikan untuk memperlihatkan cara kerjanya.

Di sana terdapat beberapa bangunan yang berfungsi sebagai ruang tinggal, gudang, kapel bahkan ruang sekolah anak. Bahkan dapur difungsikan dan pengunjung dapat memesan makanan khas yang dimasak secara tradisional langsung di dapur tersebut. Di bagian luar bangunan tertentu terdapat kotak pendingin yang berfungsi sebagai freezer untuk mengawetkan susu atau makanan lain.

Bangunan-bangunan dibangun mengikuti kontur lahan yang berbukit, mengikuti keadaan aslinya dalam hutan. Bentuk-bentuk bangunannya pun berbeda satu sama lain, masing-masing dengan keunikan sendiri. Sayang fotonya ada dalam harddisk dan saat ini saya sedang malas menyalakannya, so, foto dan detil ceritanyanya diunggah belakangan saja ya :p
Museum terbuka ini (open air museum) adalah salah satu museum yang membuat saya ingin kembali berkunjung. 





Selasa, 20 Juli 2010

Musée de la Mine - Museum Tambang

Museum ini berada di kota kecil Prancis yang bernama Saint Etienne. Kota ini kecil sekali. Jumlah penduduknya hanya 250 ribu orang. Coba bandingkan dengan Bandung yang jumlah penduduknya 10x lipatnya. Meskipun kecil di kota ini terdapat beberapa museum. Salah satu museum paling menarik yang pernah saya kunjungi di seantero Eropa ternyata malah ada di kota ini. 

Musée de la Mine atau museum tambang, begitulah namanya, adalah sebuah museum tematik. Museum ini sesuai dengan namanya merupakan museum yang menyimpan koleksi dari aktivitas penambangan batu bara yang pernah berjaya di kota itu selepas perang dunia kedua hingga dihentikan sekitar tahun 1970-an. Tak hanya menyimpan koleksi, museum ini benar-benar berada di eks-tempat penambangan batu bara. Situs bekas penambangan batu bara bawah tanah dimanfaatkan sebagai sarana penyampaian informasi pada pengunjung. 

Pengunjung harus mengantri untuk bisa mengunjungi museum ini. Di bagian penjualan tiket pengunjung akan diberikan nomor kelompok keberangkatan. Biasanya pengunjung harus menunggu sekira 15-30 menit untuk masuk. Pengunjung akan diminta menunggu di satu bagian situs tempat para penambang berganti pakaian. Di ruangan luas itu dengan rantai besi di langit-langit tergantung baju-baju lusuh para penambang. Suasana sedikit spooky jika kita hanya sendirian di ruangan itu.


Seorang pemandu kemudian memanggil kloter-kloter pengunjung berdasarkan urutan yang didapat di meja tiket. Melewati lorong dan ruang mandi, pengunjung kemudian diminta memakai helm kuning penambang yang disediakan. Kami pun turun dengan lift. Di ruang bawah tanah, kami dipersilakan menaiki kereta yang dijalankan secara otomatis. Kereta itu sebenarnya adalah pengangkut batu bara, dulu. Kereta akan berhenti sekali-sekali hingga di titik tertentu pengunjung dipandu untuk turun dan melanjutkan kunjungan dalam gua tambang dengan berjalan kaki. 


Di sepanjang lorong gua itu terdapat beberapa televisi yang menayangkan penjelasan tentang tambang dan proses penambangan. Suasana dalam tambang pun dibuat mengikuti keadaan sebelumnya dengan penempatan peralatan tambang, patung-patung manusia dan kuda (dulu kuda juga dibawa masuk ke dalam tambang sebagai pengangkut batu bara dan tinggal dalam tambang) ditambah dengan backsound atau latar suara kuda dan bunyi alat-alat tambang. 

Di dekat tempat penjualan tiket terdapat toko suvenir kecil, ruang audio visual dan ruang pameran temporer. Semua memanfaatkan bangunan yang ada di sekitar situs. Meskipun dari luar tampak kumuh, tua dan tidak terurus, ide memanfaatkan tempat ini sebagai museum tematik patut diacungi jempol.

Sebenarnya saya tidak terlalu betah berada di dalam tanah, tapi saya menikmati menaiki kereta pengangkut batu bara dan  ingin mengunjungi lagi museum ini jika ada kesempatan. 

Note: Foto milik http://pl.tripadvisor.com/ 

Minggu, 18 Juli 2010

Keroncong dan pasar malam: perkenalan singkat


Pada abad ke 15, bangsa Portugis untuk pertama kali menjejakkan kaki di Nusantara. Dengan sendirinya proses akulturasi budaya pun berlangsung. Salah satu peninggalan akulturasi budaya ini adalah musik keroncong.

Secara sederhana keroncong adalah musik gamelan yang dimainkan dengan alat musik Eropa yang didominasi alat musik senar seperti gitar. Sementara untuk vokal mengikuti irama pelog atau slendro.

Di Indonesia jenis musik ini sekarang dinilai kuno dan ketinggalan jaman. Hanya sedikit kelompok masyarakat yang masih menikmati warisan budaya ini. Saya ingat ketika saya kecil ayah dan kakek saya senang sekali dengan musik keroncong. Beberapa nama musisi yang saat itu terkenal adalah Muljiono bersaudara.

Bulan Mei yang lalu, saya berkesempatan mengunjungi pasar Indies (sekarang menjadi pasar Eurasia) yang bernama Tongtong Festival di Den Haag, Belanda.

Tongtong Festival bermula dari inisiasi seorang warga Belanda keturunan Indonesia yang beremigrasi setelah perang kemerdekaan karena ia menemui kesulitan hidup sebagai WNI. Ketika itu sentimen anti Belanda masih sangat kuat bergaung dan hal ini mempersulit kehidupan warga campuran.


Pada awalnya Tongtong Festival diperuntukkan sebagai sarana temu kangen dan kumpul-kumpul para penduduk ex-Hindia Belanda namun kemudian berkembang dan menjadi pasar malam Eurasia terbesar di Belanda. Di pasar tersebut bisa ditemukan berbagai produk makanan, pakaian, pernak-pernik khas Indonesia (Jawa). Bahkan ada area khusus yang diperuntukkan bagi produk-produk asli Indonesia di Indonesian Pavilion.

Dalam festival tersebut dihadirkan kelompok musik Keroncong Tugu dari Jakarta, Indonesia. Kelompok ini telah mengisi acara hiburan di Tongtong Festival secara rutin sejak 1989.
Untuk sementara keroncong masih hidup di pasar malam Tongtong Festival. Bagaimanakah kelanjutannya di masa depan di nusantara?

Jumat, 09 Juli 2010

Mengintip MAXXI: Karya baru Zaha Hadid di Roma


Bangunan baru karya arsitek terkenal tentu sangat sayang untuk dilewatkan terutama oleh orang-orang berlatar belakang pendidikan arsitektur atau menaruh minat pada dunia arsitektur. 

Pembukaan MAXXI atau Museo Nazionale delle Arti del XXI secolo (museum nasional seni abad 21) di Roma ini dilakukan tanggal 31 Mei lalu setelah sepuluh tahun masa penantian dan menelan biaya 150 juta Euro. Berdasarkan master plan yang dipamerkan, tampaknya proyek ini belum selesai 100%, saat ini dua bagian gedung dalam master plan masih belum dibangun.

Terletak di kawasan Flaminio pinggir kota Roma, di dekat stadion AS Roma, dengan latar (setting) lingkungan urban bekas daerah militer dan dikelilingi kompleks perumahan, MAXXI mengambil langgam arsitektur dekonstruksi seperti karya-karya Zaha Hadid yang lain. Museum ini sangat menawan jika dilihat dari taman/plazanya, tapi tidak demikian jika dilihat dari jalan utama.

Secara keseluruhan museum dibangun dengan material beton abu halus tanpa pelapis. Dinding lobby menggunakan material kaca dan tangga menggunakan material baja karena dibuat tanpa kolom penunjang tetapi mengandalkan dukungan balok dan bracing baja sehingga terkesan melayang. Bagian depan memanfaatkan fasad bangunan sebelumnya yang berlanggam neoklasik. Hal ini tampaknya dilakukan untuk memenuhi aturan ketat pemerintah Italia tentang konservasi.

MAXXI terdiri dari tiga lantai yang tersusun dari lima galeri, lobby, toko buku dan Standing caffetaria di sudut utara bangunan. Bagian interior memiliki alur menarik sekaligus membingungkan. Ramp-ramp dan tangga-tangga dirancang sedemikian rupa untuk mengarahkan pengunjung. Pengunjung dapat memulai tur di lantai dasar dari galeri 1 (galeri seni) di sisi selatan atau dari galeri arsitektur di sisi utara. Kedua galeri di lantai dasar terpisah oleh lobby, ruang servis dan toko. Dari galeri 1 di lantai dasar, pengunjung harus menggunakan lift untuk naik ke lantai satu menuju galeri 2. Ruang galeri 2 di lantai satu terhubung ke galeri koleksi arsitektur di lantai dasar melalui dua tangga di ujung kiri dan kanan galeri arsitektur. Bagian ini sengaja dibuat menipu pengunjung karena seolah membawa pengunjung ke bagian lain tapi hanya membawa kembali ke area yang telah dikunjungi.

Sayangnya bangunan ini melupakan hal penting, yaitu penutup atap di bagian pintu masuk. Bangunan dengan massa yang dinamis menyebabkan beberapa bagian bangunan bertemu (bergabung) sementara bagian lainnya terpisah. Salah satu perpisahan massa "kebetulan" terjadi di bagian pintu masuk sehingga ketika hari hujan bagian ini pun menjadi basah total. Hal lain yang disayangkan adalah pemasangan lampu penerangan di sepanjang jalur pejalan kaki di area plaza yang ditutup karet dan ditinggikan lima sentimeter di atas permukaan lantai. Keberadaan lampu-lampu ini menyebabkan beberapa pengunjung (di antaranya saya) tersandung setiap saat.

Tiga hari setelah pembukaan hujan turun mengguyur kota Roma. Di galeri museum hujan meninggalkan jejaknya melalui kebocoran di antara pertemuan atap kaca dengan lantai beton. Konstruksi bagian pertemuan dua material yang berbeda memang tidak pernah mudah dan air pun menetes membasahi lantai galeri serta membuat pulau-pulau air di langit-langit. Jika hal ini terjadi di Indonesia akan terjadi dua kemungkinan: arsitek disalahkan karena membuat desain yang terlalu rumit atau kontraktor disalahkan karena tidak becus membangun.

Arsitektur dekonstruksi Zaha Hadid tampaknya merupakan konstruksi yang harus berdiri lepas dari sekelilingnya. Ini tampak sekali dari pertemuan bidang antara bangunan baru dengan fasad lama yang menghadap ke jalan utama. Pertemuan antara keduanya tidak begitu indah dan tusukan-tusukan bidang Hadid tampak memaksakan diri untuk tampil. Ia mempenetrasi habis fasad lama. Oleh karena itu museum ini tidak tampak menawan jika dilihat dari jalan utama. Hingga hari ini belum ada foto yang menampilkan MAXXI dari arah jalan utama. 

Di MAXXI, seorang ibu bertanya pada anaknya yang berusia sekitar 4-5 tahun: Ti ha piacuto questo museo strano? (Kamu suka museum aneh ini?) Jawab si anak: Si, anzi no (ya tapi juga tidak). Rupanya apa yang di mata arsitek tampak bagus dan menawan, belum tentu seperti itu di mata awam dan hal ini juga dipengaruhi oleh latar pendidikan serta budaya setempat.

Well, I guess beautiful thing isn't everything they say.

Minggu, 27 Juni 2010

Uniknya Napoli - catatan EM (4)



Napoli adalah kota di Italia selatan. Kota ini tergolong kota besar dengan jumlah penduduk mencapai 1-2 juta jiwa, masih kalah dari Bandung sebetulnya, tapi bagi mereka jumlah itu sudah banyak sekali.

Kota ini dulunya adalah kota koloni Yunani. Napoli berasal dari kata nea-polis yang berarti kota baru. Kota lamanya bernama Parthenopolis. Lokasi pusat kota Parthenopolis dan Neapolis tidaklah berjauhan dan sekarang sudah bergabung menjadi pusat kota Napoli.

Di daerah selatan Italia ini, meskipun ia notabene kota besar, dan bisa disebut sebagai kota 'metropolitan', tapi masih bisa ditemui aktivitas-aktivitas tradisional khas warga setempat. Misalnya, saya sering sekali menemui ibu-ibu, terutama yang agak sepuh, berbelanja melalui tetangganya. Mungkin hal semacam ini bisa ditemui di mana saja.Hal yang unik adalah cara mereka bertukar belanjaan. 

Para ibu yang tinggal di apartemen lantai atas menurunkan keranjang yang diikat tali ke bawah, orang yang dititipi belanjaan kemudian menaruh barang pesanan dalam keranjang tersebut. Ketika transaksi selesai, si ibu pembeli menarik keranjang kembali ke atas, persis kegiatan orang menimba. Untuk tukar informasi mereka cukup saling berteriak satu sama lain. Kepercayaan di antara mereka masih sangat kuat meskipun mereka banyak menaruh curiga terhadap para pendatang. 

Kedua, di sudut-sudut rumah dengan mudah ditemui cekukan di dinding yang dipasangi gambar perawan Maria atau Yesus lengkap dengan lilin dan bunga. Kadang-kadang juga bisa ditemui potret anggota keluarga yang telah meninggal di sisi gambar tadi.

Ketiga, di daerah tempat saya tinggal tahun lalu, setiap minggu pagi datang pengamen. Di Indonesia yang namanya pengamen sih biasa, lalu apa anehnya pengamen Napoli?

Pengamen Napoli ini tidak sendirian. Mereka adalah kelompok drum band yang hanya muncul setiap hari minggu pagi. Di kala ada hari besar, misalnya paskah, kelompok ini menjadi atraksi unik dengan parade solo mereka sambil membawa patung Maria dan memainkan musik-musik tradisional daerah selatan.

Kemudian, hal yang paling menarik adalah jemuran. Jemuran bertebaran di dinding-dinding luar apartemen. Di pusat kota bisa ditemui rentangan jemuran antar gedung. Semua bisa ditemukan di rentangan jemuran itu, mulai dari handuk sampai pakaian dalam.

Di luar kisah mafianya yang terkenal dan slogan menakutkan "kau lihat, kau mati"nya, Napoli memiliki kisah uniknya sendiri. Warganya masih dengan sadar memegang tradisi bersama-sama hingga hari ini.


*Kiriman ulang dari catatan Facebook 14 Juni 2010 jam 0:45

Rabu, 23 Juni 2010

Melantjong ke Rio, mengikis stereotip

Orang-orang mungkin sedang sibuk mencari berita terbaru tentang skor terakhir piala dunia atau kelanjutan kasus video Ariel-Luna-Cut. Di lain pihak berita-berita tentang kebudayaan selalu muncul sekilas dan seperlunya.

Seorang kawan yang saya kenal secara daring, bahkan hingga sekarang belum saya temui di dunia nyata telah menapaki lagi satu anak tangga keberhasilan dengan proyeknya. Tahun lalu ia bertanya padaku tentang program kuliah yang kuikuti. Kemudian ia menginisiasi sebuah kegiatan wisata yang dinamainya Melantjong Petjinan Soerabaia. Di luar dugaan, proyek kecil-kecilan ini mendapat respon positif dan berkembang dengan baik. Ia baru saja kembali dari Rio de Janeiro, Brasil, dalam rangka memenuhi undangan dari UNAoC (United Nation Alliance of Civilization). 

Dalam presentasinya ia menyampaikan bahwa motifnya memulai kegiatan wisata budaya tersebut adalah untuk mengikis stereotip negatif terhadap warga etnis Tionghoa di Indonesia. Ya, Indonesia memang kaya dengan berbagai stereotip. Sayang kebanyakan stereotip maknanya negatif. Saya teringat beberapa tahun lalu di bangku kuliah teman-teman saya sering bercanda tentang stereotip. Misalnya: Jawa identik dengan pembantu, Sunda yang matre, Batak yang kebanyakan berprofesi sebagai sopir angkot di kota saya atau Padang sang pemilik fotokopi dan rumah makan. 

Stereotip tidak selalu benar. Contohnya saya yang keturunan Sunda-Jawa tidak menjadikan saya 'pembantu matre'. Namun harus diakui bahwa stereotip sangat mengganggu aliran komunikasi dan integrasi masyarakat.

Isu stereotip yang sekarang merebak di dunia adalah Islamophobia dengan berbagai aksi terorisme yang mengatasnamakan Islam. Inilah yang memperburuk nama Islam dan membuat orang luar tidak percaya dengan ajarannya. Belum lagi komunitas Islam keras di tanah air yang kadang mengusik ketertiban umum dan merusak dengan dalih demi penegakan syariah. Saya sendiri yang seorang muslim kadang merasa tidak nyaman dengan aksi mereka yang terkadang agresif. Padahal dulu walisongo pun saling menghormati meski mereka terbagi ke dalam kelompok santri dan abangan. 

Warga Tionghoa Indonesia pun telah hidup dalam stereotip yang diciptakan pemerintah kolonial yang berlanjut hingga setelah kemerdekaan. Di jaman orde baru, segala sesuatu yang berbau China dilarang dengan isu komunisme (ketika itu China inland berubah haluan menjadi negara komunis). Padahal sebagian besar warga Tionghoa Indonesia telah tinggal selama ratusan tahun di tanah air dan secara tidak langsung telah putus hubungannya dengan negara induk. 

Hari ini, warga Tionghoa identik dengan pengusaha kaya. Masyarakat lupa bahwa etnis Tionghoa pun ada kelas rakyat jelata yang hidupnya biasa-biasa saja. Ambillah contoh warga China Benteng di Tangerang. Dua bulan lalu mereka terancam digusur dari tempat tinggalnya tanpa penggantian dari pemerintah. Siapa yang membantu mereka? Entah bagaimana kelanjutan kasus itu, belum sempat saya cari lagi beritanya.

Berkat kepemimpinan almarhum Gus Dur yang pluralis, kebudayaan etnis Tionghoa kembali diakui, bahkan Imlek menjadi salah satu hari besar nasional. Ada baiknya membaca tulisan-tulisan karya T.H.Pigeaud dan H.J. de Graaf, Slamet Muljana, Denys Lombard untuk mempelajari sejarah dan perkembangan etnis Tionghoa di Indonesia.

Stereotip membuat orang kehilangan kepercayaan dan menaruh curiga terhadap hal-hal yang asing baginya dan terjadi karena ketidaktahuan. Pembukaan wawasan budaya dan pengenalan sejarah adalah hal penting untuk memahami sebab akibat dari segala sesuatu yang kita pertanyakan hari ini, dan hal itu juga mendorong masyarakat untuk berpikir lebih kritis tanpa menghakimi.

*Catatan tambahan: Contoh lain usaha mengikis stereotip negatif dilakukan oleh Shah Rukh Khan melalui filmnya "My name is Khan (but I'm not a terrorist)".

Selasa, 22 Juni 2010

Stuttgart Weihnachtmarkt

Musim telah berganti. Musim dingin telah digantikan musim semi yang kini segera digantikan musim panas. Tahun ini cuaca agak aneh. Udara dingin dan salju berlangsung lebih lama dari tahun sebelumnya. Bahkan di daerah selatan Prancis, kot pelabuhan yang biasanya bermandikan cahaya matahari musim dingin seklai pun kali ini diterpa salju tebal, dan itu terjadi di akhir bulan Februari. Hal sangat langka terjadi bahkan bagi penduduk asli kota tersebut yang sudah tinggal di sana hampir seumur hidupnya.
Saya suka putih dan lembutnya salju yang baru turun. Namun saya tidak suka basah dan beceknya jalanan karena salju yang mencair.

Saya melewatkan musim dingin tahun 2009 di kota Stuttgart. Untungnya pemanas di apartemen berfungsi dengan baik. Dinginnya udara luar benar-benar menyiksa. Tangan dan kakiku hampir pasti selalu membeku.
Stuttgart di musim dingin terkenal dengan penurunan suhu, Oktoberfest dan Weihnachtmarkt-nya.

Oktoberfest adalah festival tahunan yang bertempat di taman terbesar kota Stuttgart dan berlangsung selama tiga minggu, dimulai akhir September dan berakhir pada pertengahan Oktober. Sementara Weihnachtmarkt adalah pasar natal yang berlangsung selama satu minggu sebelum natal.

Para Stuttgarter (penduduk kota Stuttgart) mengkalim Weihnachtmarkt mereka sebagai pasar natal terbesar di seluruh Eropa. Pasar ini memang cukup besar dengan memanfaatkan area di sekitar Schlossplatz hingga Rathaus. Di pasar ini bisa ditemukan berbaai hiasa tradisional yang dibuat dengan tangan. Karya-karya seni unik berbahan kayu yang tidak bisa ditemukan di toko-toko cinderamata biasa.

Untuk karya-karya tersebut tentu harga yang dipasan gjuga tidak sama dengan barang-barang pabrikan. Tapi hati-hati,karena tidak semua benda yang dijual adalah asli buatan Jerman. Benda-benda elektronik atau mekanik bisa jadi made in negara lain. Sementara untuk karya-karya tangan berbahan kayu, seperti mainan anak dan berbagai hiasan rumah, bisa dipastikan asli buatan tangan mereka.

Hal lain yang tidak bisa dipisahkan dari Weihnachtmarkt adalah kios makanan. Gluhwein dan Bratwurst adalah dua tipikal yang pasti akan ditemukan.

Malam itu hujan rintik menyertai langkahku menembus padatnya keramaian Weihnachtmarkt. Pernak-pernik dan mainan kayu yang cantik menggodaku. Sayang kondisi ekonomi tak mendukung untuk mengoleksi benda-benda cantik itu.

Tak ada salahnya mampir ke Weihnachtmarkt ini, salah satu peninggalan tradisi masyarakat Jerman, jika sedang berkunjung ke Stuttgart menjelang natal.

*Foto dalam tulisan ini diambil di Oktoberfest 2009*

Minggu, 13 Juni 2010

Arsitektur Diktator

Awal abad ke dua puluh adalah masa pergerakan dunia baru. Dalam seni dan arsitektur masa ini dikenal sebagai jaman aliran internasional atau The International Style. Di samping aliran internasional, jaman ini juga ditandai dengan bermunculannya arsitektur diktator. Dibangkitkannya kembali gaya arsitektur Romawi yang dikenal juga sebagai langgam neoklasik, sebagai penanda hegemoni kekuasaan - The return of Roman Empire's glory.
Di awal abad ke dua puluh para diktator bermunculan dan mengukuhkan kekuasaannya salah satunya melalui arsitektur. Hittler 'menata ulang' ruas jalan Unter den Linden dan menciptakan aksis kekaisaran Jerman baru. Ia juga megninisiasi pembangunan menara televisi di Berlin. Sementara Musolini membangun gedung bergaya kuil Romawi di Piazza Venezia beraksis ke Piazza del Popolo.

Mengapa para diktator memilih mengadopsi arsitektur Romawi tentu bukan tanpa alasan. Bangsa Romawi adalah bangsa yang dipuja sebagai bangsa besar sekaligus pencipta peradaban Eropa. Bangsa ini pun menguasai kawasan Eropa Barat dan sebagian dataran Afrika Utara sampai diambil alih oleh kekaisaran Otoman (Turki). Peninggalan-peninggalan kejayaan Romawi berbekas di bentangan Eropa Barat sampai Afrika Utara. Arc de Triomphe, Colloseum dan jembatan air (di Prancis disebut Pont du Gard) bisa ditemukan di hampir seluruh Eropa Barat dan Afrika Utara.

Kemegahan dan kekuasaan bangsa Romawi menjadi legenda. Bahkan Paus memutuskan untuk memindahkan pusat kekuasaan dari Avignon di Prancis ke Roma pada masa Renaisans, ketika berbagai catatan dan karya-karya peninggalan bangsa Romawi diketemukan kembali di Eropa. Tidak mengherankan jika para diktator memilih untuk mengadopsi gaya arsitektur bangsa Romawi untuk menunjukkan kekuasaan mereka. Untuk menunjukkan mimpi ingin menjadi besar seperti kekaisaran Romawi.

Saya baru ngeh dengan langgam neoklasik ini yang dilihat sebagai arsitektur diktator melalui sebuah kuliah tentang arsitektur di Prancis. Sang dosen memaparkan hasil penelitiannya yang terutama berada di Rusia. Sebuah sudut pandang menarik yang semakin menunjukkan kendali penguasa terhadap wajah arsitektur kota atau bahkan negara.

Di Indonesia, langgam neoklasik ini disalahartikan dalam industri properti menjadi gaya mediterania. Padahal yang namanya gaya mediterania adalah rumah-rumah rakyat dengan tangga masuk di luar, tanpa pagar dan tanpa halaman. Masyarakat awam Indonesia yang tidak mengerti sejarah arsitektur tentunya merasa mendapat prestise jika memiliki rumah berlanggam 'mediterania' (baca: bergaya Eropa) yang simetris dengan kolom tinggi bergaya Ionoc atau Doric di depan rumah, yang sesungguhnya adalah langgam neoklasik atau langgam pilihan para diktator.




Rabu, 09 Juni 2010

Turis Buat film lokomotif tua Pabrik Gula Tasikmadu - Artikel dari koran SI

http://aa.mg1.mail.yahoo.com/dc/blank.html?bn=397.8&.intl=it&.lang=en-SG

Diteruskan dari milis di atas, diambil dari koran SI. Pertanyaannya, kapan turis lokal tertarik dengan hal yang sama?

Turis Bikin Film Lokomotif Tua PG Tasikmadu

Rabu, 9 Juni 2010 - 08:49 wib
text TEXT SIZE :
Share

Ilustrasi (Foto: Wordpress)

KARANGANYAR - Keberadaan steam locco kuno di Pabrik Gula (PG) Tasikmadu, Karanganyar, Jawa Tengah, menarik perhatian komunitas pecinta lokomotif dari luar negeri.

Kondisi lokomotif tua yang sampai kini masih dipakai untuk menarik lori tebu tersebut dibuatkan film dokumenter. “Komunitas pecinta lokomotif langka yang membuat film dokumenter berasal dari Jerman dan Swiss,” ujar Manajer agrowisata Sondokoro PG Tasikmadu, Megantoro, Rabu (9/6/2010).

Sedangkan steam locco yang diabadikan adalah kereta uap Tasikmadu (TM) 6 buatan pabrik Orenstein & Koppel, Jerman tahun 1929. Sebelumnya mereka juga telah berkeliling ke Tegal, Pekalongan dan Ambarawa guna melihat kereta uap di sana. “Setelah dari PG Tasikmadu, mereka akan melihat sepur Kluthuk Jaladara di Solo dan lokomotif milik perhutani Cepu,” katanya.

Mereka tertarik dengan TM 6 karena keberadaannya kini hanya ada di PG Tasikmadu dan Norwegia. Dalam keseharian, lokomotif TM 6 masih dipakai untuk menarik lori tebu di lingkungan pabrik.

Kereta uap tersebut pada tahun 80-an masih dipakai untuk menarik lori dari perkebunan tebu. Namun pada tahun 90an hanya dipakai di lingungan pabrik setelah fungsinya digantikan angkutan truk.

Keberadaan lokomotif kuno memang sangat menarik turis mancanegara untuk datang ke Sondokoro. Selain Swiss dan Jerman, banyak juga turis dari Inggris dan Jepang yang ingin menyaksikan loko uap menggandeng lori berisi tebu yang siap digiling.
Saat ini agrowisata Sondokoro memiliki sembilan loko uap yang masih aktif.


(Ary Wahyu Wibowo/Koran SI/ful)

Selasa, 08 Juni 2010

Sustainable design vs World Heritage City





Dari sebuah konverensi di kota Cottbus, Jerman, seorang peneliti asal Portugal mengemukakan hasil pengamatannya. Pengamatan ini cukup menggelitik karena menyentuh legitimasi sustainable design atau rancangan berkelanjutan yang didominasi konsep arsitektur hijau terhadap keberlanjutan kota-kota bersejarah.

Pada prinsipnya rancangan berkelanjutan adalah sebuah konsep yang memperhatikan (baca: bertanggung jawab terhadap) keselarasan antara faktor sosial-budaya, ekonomi dan lingkungan. Faktor sosial-budaya dan ekonomi cukup jelas tanpa definisi lebih jauh. Hal yang menjadi permasalahan adalah pemahaman lingkungan. Terkadang ketika mendengar kata lingkungan maka yang terbayang di kepala adalah lingkungan alam. Padahal lingkungan pun bisa berarti lingkungan binaan tempat manusia berada. Pemahaman kedualah yang disoroti oleh peneliti tadi.

Kota-kota bersejarah di dunia, termasuk zona perlindungannya, berada dalam perimeter urban. Ia tidak bisa menghalangi pembangunan berlangsung di sekelilingnya. Di sini kemudian terjadi dilema. Di satu sisi, tanpa pembangunan sebuah kota akan stagnan dan statis. Sebaliknya dengan pembangunan ia akan menjadi lebih hidup. Akan tetapi dengan cara apa membuat sebuah kota (bersejarah) tetap hidup dengan mempertahankan nilai-nilai keunikannya di tengah pembangunan yang berlangsung?

Jawabannya mungkin terletak pada konsep sustainable design tadi. Namun seperti dijelaskan di atas, konsep sustainable design ini lebih terpaku pada pemahaman keberlanjutan untuk lingkungan alam sehingga tidak terlalu memperhatikan konteks keberlanjutan dari aspek kesejarahan. Dengan kata lain, sebuah kota tua yang dipenetrasi  satu rancangan, katakanlah green design yang sedang populer, tentu akan mengubah wajah kota tersebut baik secara total maupun sebagian. Dengan terjadinya perubahan ini tentu keberlanjutan kota tua tersebut terganggu oleh makhluk yang baru datang. Sehingga dikatakan oleh peneliti Portugal ini bahwa rancangan berkelanjutan atau sustainable design yang seharusnya meningkatkan nilai keunikan suatu kota tua (bersejarah) justru malah mengancam keberlanjutannya.

Sang peneliti mengambil contoh kota tua di Eropa, apakah pengunjung, dan tentunya warga mengharapkan gambaran kota tuanya seperti sekarang? atau dengan berbagai bentuk tambahan dari arsitektur-arsitektur baru dengan bentuk beragam? 
Sekarang mengambil contoh di Indonesia, apakah kita ingin melihat Yogya yang berkraton dengan skala bangunan rendah dengan semua peninggalan bersejarahnya? atau Yogya metropolitan dengan arsitektur kontemporer berbagai bentuk, warna dan ketinggian? Yang manakah wajah Yogya yang paling baik? Manakah wajah Yogya yang kita inginkan?





Selasa, 01 Juni 2010

Louvre: Seni dan Tragedi

Louvre, kompleks istana raja Prancis dari abad pertengahan. Hari ini kompleks istana ini lebih dikenal sebagai museum seni terbesar di Prancis. Louvre identik dengan seni dan lukisan Leonardo da Vinci « Monalisa » serta patung Venus de Milo dan Winged Victory-nya. Mengunjungi Louvre tidak cukup dilakukan satu kali. Terbagi dalam tiga sayap dengan ruang bawah tanah, total luas museum mencapai 60.600 m2. Museum ini menampung hampir 400.000 benda dan karya seni.
Terletak di sisi sungai Seine, bagi para arsitek Louvre adalah piramid kaca I.M. Pei. Karya yang sempat menjadi kontroversi tapi sekarang dipuji. Piramid kaca terbesar yang merupakan atap menutup galeri utama museum di bawah tanah sekaligus pintu masuk ke galeri mendominasi landscape lapangan (taman) kompleks Louvre. Di dalam galeri bisa ditemukan piramid terbaliknya yang mengundang decak kagum. Piramid terbalik yang juga menjadi penutup dalam adegan akhir film The Da Vinci Code. Karya ini akhirnya ditasdik sebagai contoh baik dalam merespon kebutuhan dan konteks bangunan bersejarah  warisan budaya.
Akan tetapi, tak banyak yang tahu sejarah kelam Louvre. Di sini terjadi pembantaian penganut Protestan oleh penganut Katolik. Malam Saint Barthelemy adalah malam genosid yang membunuh ratusan penganut Protestan di Paris. Bahkan wanita dan anak-anak pun tak luput dari pembantaian. Mayat-mayat bertebaran di lapangannya, bergelantungan di jendelanya. (Calon) raja pada masa itu, Henry IV, awalnya adalah penganut Protestan. Ia dengan cerdik berkonversi menjadi Katolik demi menyelamatkan diri dan akhirnya dinobatkan menjadi raja.
Raja besar Prancis, Le Roi du Soleil, Louis XIV juga mengalami trauma di tempat yang sama. Keluarga kerajaan diserang oleh kelompok bangsawan. Episode ini dikenal sebagai Episode Fronde. Louis XIV kecil dan ibunya, bangsawan Medici dari Firenze- Italia, dilarikan oleh perdana menteri mereka, Mazarin, yang juga berasal dari Italia, sementara sang raja terbunuh. Louis XIV pun naik takhta di usia yang sangat muda.
Di kemudian hari, salah satunya akibat dari trauma ini, Louis XIV memindahkan pusat kekuasaan kerajaan ke Versailles. Louvre ditinggalkan dan dijadikan kediaman artis serta tempat menyimpan koleksi seni kerajaan.
Louvre menjadi tempat menyimpan berbagai koleksi kerajaan hingga terjadinya revolusi Prancis yang mengubah wajah kerajaan menjadi republik. Istana ini pun diputuskan untuk difungsikan sebagai museum tempat menyimpan kekayaan nasional. Ia sempat ditutup selama empat tahun pada akhir 1800an. Pada masa pemerintahan Francois Mitterand, Louvre diberi piramid terkenalnya melalui tangan I.M. Pei.


Senin, 31 Mei 2010

Indonesia dan World Heritage

Pernahkah mengunjungi Portal UNESCO? Di sana bisa dilihat daftar negara peserta dan daftar warisan budaya yang disahkan UNESCO sebagai warisan budaya dunia (World Heritage). Di sana juga bisa ditemukan berbagai warisan budaya masing-masing negara yang diajukan namun tidak diterima. Sebut saja Masjid Agung Demak, kompleks kraton Jogjakarta, Tana Toraja dan terakhir Bali.

Mengapa sampai terjadi penolakan terhadap warisan budaya yang diusulkan?
Ada banyak alasan, salah satu di antaranya adalah kurangnya pemenuhan persyaratan yang diminta. Misalnya untuk Masjid Agung Demak. Masjid ini, seperti juga semua bangunan umum yang berfungsi di Indonesia telah direnovasi dan mengalami perubahan berkali-kali. Bagi logika Occidental hal ini tidak bisa diterima karena telah menghilangkan nilai otentisitas (keaslian) karya tersebut meskipun kita mengatakan bahwa bentuk dasarnya tidak berubah (atap tumpang dan denah persegi).

Bagi bangsa Eropa, yang disebut benda peninggalan asli adalah benda yang benar-benar asli dari masa lalu termasuk material yang digunakan tidak boleh diganti. Boleh diperbaiki, tapi tidak boleh diganti. Sebaliknya, di Jepang, keaslian adalah sepanjang bentuk, detil dan tata cara pembuatan sama maka benda itu asli meskipun material yang digunakan baru. Oleh karena itulah muncul piagam Nara yang mendefinisikan ulang pemahaman tentang 'keaslian' demi mengakomodasi perbedaan cara pandang. Namun Indonesia, tidak memiliki budaya seperti Jepang. Keaslian tidak terlalu penting untuk dijaga.

Kasus kedua mengambil contoh pengajuan Bali sebagai saujana budaya dunia. Dari rangkuman proposal yang diajukan, tidak terdapat nilai lebih Bali agar bisa diterima. Proposal tersebut hanya mengedepankan Tri Hita Karana sebagai nilai lebih pemanfaatan lahan di Bali tanpa menyebutkan dengan jelas apa sebenarnya yang dimaksud dengan Tri Hita Karana tadi. Jika demikian saja, apa bedanya teras-teras sawah di Bali dengan teras-teras sawah di Filipina yang sudah lebih dulu masuk sebagai saujana budaya dunia? Apa pula bedanya dengan teras-teras sawah yang ada di sepanjang pulau Sumatra dan Jawa dan seluruh Asia Tenggara? Tidak ada penjelasan yang memberi keistimewaan pada kawasan yang dipilih.

Selain itu pengajuan tampak tidak fokus pada tema yang ingin dikedepankan. Proposal mencampurkan antara continuing landscape dengan relict. Belajar dari Italia, mereka selalu terfokus pada satu tema dan mencari logika untuk mengangkat karya budaya dengan tema yang dipilih.

Ada banyak sekali warisan budaya dan sejarah di Indonesia yang bisa diangkat dan diajukan sebagai warisan budaya dunia. Tinggal cara pengusulan dan logika yang digunakan harus mampu membaca permintaan UNESCO yang notabene diisi logika Eropa.