Minggu, 06 Maret 2011

Identitas dan Pusaka: Mengenali (Kembali) Kota Melalui Mata Anak-anak

Sungguh menarik melihat karya-karya anak-anak sekolah dasar mengenai kota tempat mereka tinggal. Mereka berapresiasi mengenai kekhasan kota Bandung. Bandung di mata anak-anak ternyata identik dengan kesenian tari merak dan jaipongan, Gedung Sate, peneropongan bintang Bosscha dan  Gunung Tangkuban Perahu. 

Apa yang ditampilkan anak-anak secara umum merupakan gambaran identitas kota dan identitas daerah Jawa Barat yang mereka kenal. Gedung Sate, tak bisa disangkal telah menjadi tengaran dan simbol kota Bandung yang paling dikenal. Peneropongan bintang Bosscha dengan sejarah panjangnya, meski secara administratif berada di daerah Lembang, ternyata identik pula dengan kota Bandung di mata anak-anak, dan mungkin juga di mata masyarakat secara umum. Tari merak dan tari jaipong, serta angklung merupakan warisan budaya tak-benda milik masyarakat Jawa Barat yang paling popular dan dikenal secara luas. Kesenian-kesenian tersebut  secara tidak langsung telah mewakili citra daerah dan kota. Sementara itu, Gunung Tangkuban Perahu merupakan sumber legenda masyarakat dengan kisah Sangkuriangnya, legenda yang juga merupakan warisan budaya tak-benda.
Dalam salah satu karya, seorang anak menggambarkan Bandung baheula dan kiwari, dimana sang anak menggambarkan masa lalu Bandung dengan noni Belanda berdampingan dengan orang pribumi dengan latar hitam putih. Di samping gambar baheula adalah gambar kiwari dengan fokus seorang penari berlatar gedung sate sedang ditonton turis asing (Belanda?). Ide yang sangat sensitif dalam menggambarkan perubahan sosial budaya masyarakat kota dan perubahan identitas kota/daerah.
Lukisan-lukisan yang dipamerkan memiliki karakter khas masing-masing dengan ide-ide unik dan menarik. Di antaranya ada yang menggambarkan jembatan Pasupati sebagai bagian dari (identitas fisik) kota Bandung. Bahkan ada pula yang menggambarkan kemacetan dan sampah sebagai karakteristik kota Bandung. Yang lain menggambarkan bajigur, bandrek dan soto Bandung sebagai bagian dari Bandung “ haritage” – maksudnya tentu adalah heritage atau warisan budaya. Tak ketinggalan wayang golek, permainan egrang dan dokar.
Warisan budaya memang tak melulu berisi kenangan visual. Warisan budaya pun menyimpan kenangan  akan bunyi, sentuhan, dan rasa, bahkan aroma. Maka tak salah jika anak-anak menerjemahkan kesenian dan makanan sebagai unsur (warisan) budaya. Hal-hal yang dirasakan kelima inderalah yang membuat seseorang terikat pada suatu tempat. Pengalaman ruang dan resepsi rasalah yang mampu menciptakan kenangan mendalam terhadap suatu tempat.
Kegiatan-kegiatan bersama seperti workshop menggambar sangat bermanfaat sebagai salah satu media pendidikan anak dan juga untuk menanamkan kesadaran sejak dini terhadap budaya dan warisan budaya. Kegiatan seperti ini pun pada akhirnya mengeliminasi unsur kompetisi -yang biasa ditemui dalam kegiatan lomba- dan lebih mengedepankan partisipasi, sehingga setiap anak bisa ikut serta menuangkan ide tanpa harus merasa minder jika kemampuannya masih belum terasah betul. Oleh karena yang menjadi inti kegiatan bersama atau bahasa bekennya workshop tersebut adalah belajar bersama dan penanaman kepekaan nilai-nilai sosial budaya.
Sudut pandang anak-anak cenderung lebih jujur dalam mengungkapkan ekspresi dan apresiasi terhadap apa yang mereka lihat dan rasakan, yang kemudian mereka tuangkan dalam lukisan. Jika dilihat di ruang pameran sketsa secara keseluruhan, gambar anak-anak memberikan warna dan kehidupan terhadap lukisan lain yang tampak lebih serius dan berfokus pada bangunan sebagai objek utama. Berkebalikan dengan sketsa-sketsa lain, lukisan anak-anak justru lebih banyak berfokus pada manusia dan kegiatannya. Lukisan anak-anak menjadikan bangunan sebagai latar belakang berlangsungnya berbagai kegiatan manusia.
Melalui lukisan anak-anak pengamat bisa melihat fungsi bangunan (cagar budaya) sebagai latar berbagai kegiatan manusia. Dari lukisan-lukisan bertema seni dan budaya, kebanyakan menyajikan kegiatan budaya seperti tarian di depan gedung sate ataupun kegiatan wisata di kota Bandung. Dari berbagai deskripsi kegiatan yang ada, terlihat adanya suatu harmoni antara kegiatan sehari-hari masyarakat dengan kehadiran tempat-tempat warisan budaya. Dari beragamnya deskripsi dalam lukisan anak-anak tersebut, secara umum dapat disimpulkan, bahwa terdapat sebuah keterikatan secara fisik maupun emosi antara masyarakat dengan lingkungan (alam maupun buatan) kota tempat dia tinggal. Kini yang menjadi tugas utama adalah bagaimana cara kita sebagai masyarakat Kota Bandung untuk menjaga warisan-warisan budaya (benda dan tak-benda) yang ada sehingga terhindar dari kepunahan, karena warisan-warisan tersebut merupakan  bagian dari identitas kota dan masyarakat.