Minggu, 10 Oktober 2010

RUU - sebuah refleksi

RUU Cagar Budaya akan segera diresmikan. Saya sempat mengikuti perkembangan draft RUU tersebut beberapa waktu lalu. sayang sekali akhir-akhir ini belum menyempatkan diri melirik draft akhir RUU yang dibuat anggota dewan. 

Dari beberapa perkembangan RUU yang saya ikuti sekitar Juli/Agustus (yang terakhir sekali belum sempat saya baca), kesimpulan saya hanya satu: RUU tersebut belum mencerminkan jiwa dan konsep konservasi lokal. Draft  RUU yang saya baca banyak mengadopsi (mengopi) konvensi UNESCO 1972 tentang bangunan bersejarah tanpa ada upaya untuk menerjemahkan intisari konvensi tersebut ke dalam ranah budaya lokal. Selain itu, draft RUU tersebut juga belum memberikan tempat pada masyarakat umum yang seharusnya juga merupakan subjek dan pelaksana peraturan untuk berpartisipasi secara aktif dalam upaya-upaya pelestarian. Hal lain yang saya perhatikan adalah kurang tegasnya hukuman terhadap pelanggaran aturan yang mengakibatkan rusak atau hilanganya cagar budaya (benda maupun tak benda).

Cagar budaya tidak bisa dilihat sebagai aset sementara seperti benda yang bisa diperjualbelikan namun harus dilihat sebagai aset dalam jangka waktu tak terhingga. Hendak dijualnya harta kapal-kapal karam (syukur akhirnya tidak jadi) menunjukkan orientasi ekonomi jangka pendek pemerintah tanpa memandang kepentingan dan investasi jangka panjang bagi generasi penerus.

Merancang sebuah undang-undang bukanlah perkara mudah. Saya pun hanya orang awam yang tidak terlalu memahami hukum. Namun saya yakin bahwa untuk mendapatkan undang-undang cagar budaya terbaik, maka para pelaku pembuatan undang-undang harus mengerti benar konsep-konsep dasar konservasi yang berasal dari budaya Indonesia, yang mana budaya Indonesia sendiri tidaklah seragam.

China, India dan Jepang sudah punya undang-undang cagar budaya versi mereka yang telah mengambil akar pada budaya mereka masing-masing. Indonesia pun seharusnya mencari konsepsi dan aturan yang sesuai dengan budaya lokal. Konsep materialis dari dunia barat yang diusung organisasi internasional tidak bisa diaplikasikan begitu saja pada kebudayaan berbeda. Indonesia, seperti juga negara Asia lainnya memiliki dasar konsep spiritual sebagai pegangan, bukan yang berdasar pada materi. Keduanya sama-sama masuk akal, hanya cara pandangnya yang berbeda. Oleh karena itu perlu adaptasi dari hukum-hukum internasional (jika ingin diaplikasikan di Indonesia) terhadap hukum-hukum lokal yang berlaku. 

Semoga saja draft RUU yang akan diresmikan sudah dimatangkan lebih baik lagi sehingga lebih menyentuh masyarakat umum dan berakar dari budaya sendiri agar bisa lebih diikuti rakyat bangsa.