Senin, 31 Desember 2012

Catatan Akhir Tahun

Tak terasa satu tahun kembali berlalu. Malam tahun baru ini hujan turun nyeukcreuk. Semoga saja mereka yang sedang menyongsong pergantian tahun tidak terlalu disusahkan oleh hujan ini.

Satu tahun ini Bandung semakin semrawut. Menjelang akhir tahun kekacauan semakin menjadi-jadi. Kemacetan bertambah dengan banyaknya libur nasional dan cuti bersama. Banjir di mana-mana bahkan hingga mencapai ketinggian di atas dua meter. Di lain pihak, pemerintah kota sibuk dengan proyek-proyek luar biasa.

Gorong-gorong di ruas jalan tertentu diperbaiki, tapi tidak dibersihkan dengan benar. Trotoar-trotoar yang sifatnya tidak darurat kemudian diperbagus, tapi saluran drinase tidak dibenahi. Pagar jembatan yang tidak rusak dibongkar dan diganti. Pun dengan trotoar jembatan yang juga tidak rusak-rusak amat ikut diganti. Sementara jalan masih juga ada yang bolong.

Beberapa proyek pembangunan tiba-tiba muncul selepas lebaran. Kantor Kadin dibangun di perempatan jalan Jakarta-Cianjur. Sebuah tempat yang sangat tidak representatif dan jelas akan menimbulkan semakin banyak kemacetan dengan keluar-masuknya mobil-mobil para pengusaha dan pejabat nantinya.

Tidak jauh dari lokasi tersebut, tampak dibangun juga kantor DPRD kota. Apakah kantor DPRD yang sekarang memang sudah tidak mampu memuat para anggotanya? Sebetulnya seberapa banyak anggota DPRD kota? Sementara di koran saya membaca bahwa ruang kerja anggota DPRD (saya lupa DPRD kota atau provinsi) sehari-hari hanya diisi satu atau dua orang saja? Betulkah itu? Jika benar demikian, lalu apa perlunya membangun gedung baru?

Pembangunan di mana-mana sementara bangunan terlantar dibiarkan. Contohnya rangka gedung di samping lahan kantor DPRD kota. Contoh lain adalah rangka gedung Panasia yang masih juga membangkai setelah lewat sepuluh tahun. Bangunan tua yang bernilai malah dihancurkan dan diganti dengan hotel atau apartemen puluhan lantai yang lokasi-lokasinya hanya akan menimbulkan akibat lebih buruk bagi warga kota, seperti kemacetan, terkurasnya air tanah, semakin mahalnya biaya hidup dan semakin tingginya kesenjangan sosial.

Proyek akhir tahun yang tampak sedikit konyol dan memaksakan adalah pembangunan halte trans metro Bandung di mana-mana. Halte dibuat di atas trotoar sempit. Sering tangga menuju halte tertutup pedagang kaki lima seperti kasus di depan pasar Kosambi dan Cicadas. Pertanyaannya adalah: apakah bus-bus dan jalurnya sudah siap? Apakah sistemnya sudah mantap sampai begitu terburu-burunya halte bus TMB dibangun di seluruh Bandung? 

Proyek lainnya adalah renovasi stadion Persib. Apakah stadion tersebut rusak parah sehingga harus direnovasi sedemikian rupa? Akan diapakan stadion tersebut? Apakah untuk merealisasikan sebuah Gor Futsal iklannya yang terpampang di spanduk besar di halamannya itu? Kenapa tidak dibuat dari dulu ketika spanduk tersebut mulai dipasang? Kenapa harus menunggu sekian lama?

Bangunan-bangunan kolonial semakin menghilang dari peradaban Bandung. Braga semakin lumpuh. Hotel-hotel tinggi bermunculan di mana-mana hingga Perhimpunan Hotel Bandung pun meminta pemkot memoratorium pembangunan hotel (baca koran lokal di sekitar bulan September-Oktober).

Tak hanya hotel yang berdiri tinggi. Apartemen-apartemen berlomba di mana-mana. Malah ada yang berani membangun hingga 22 lantai. Ketika saya masuk ke sana, saya tidak puas demi melihat kualitas konstruksi gedung dan luasannya dibandingkan dengan harga yang ditawarkan. Entah orang macam apa yang mau membeli benda seperti itu. Bisa jadi orang kaya korban mode.

Bandung semakin panas di siang hari dan menjadi sangat dingin di malam hari. Tanggal 21 Desember hujan angin besar disertai petir menggelegar membuat panik orang di mana-mana. Mungkin itu pertanda bahwa manusia harus sadar diri. Kita bukanlah apa-apa jika sudah berhadapan dengan kemarahan alam. Jangan sampai alam marah pada kita, apalagi sampai Tuhan yang marah. Ingatlah pepeling leuweung ruksak, cai beak, manusa balangsak. Itu sudah sangat tampak di Bandung. Leuweung geus (ampir) ruksak, cai geus (ampir) beak (baca: hese cai). Mau sampai kapan kita tidak peduli? 

Penulis hanya berharap, semoga di tahun 2013 kekacauan ini bisa diperbaiki melalui kerjasama warga, swasta dan pemerintah. Penulis berharap agar pemkot lebih pro-warga dan berhenti untuk sesaat mendukung pengusaha rakus yang kebanyakan orang luar Bandung. Berilah warga kesempatan untuk bernapas. Berilah kami, warga kota asli, kesempatan untuk mendapatkan dan menikmati hak-hak kami karena kami pun wajib memenuhi kewajiban sebagai warga kota dengan membayar pajak dan mematuhi berbagai peraturan yang berlaku.

Selamat menyongsong tahun baru 2013.

Selasa, 25 Desember 2012

Dalang

Waktu itu hari Sabtu malam. Saya sendirian menunggu suami pulang sambil mengerjakan pekerjaan ekstra, proyekan dari luar kantor. Hujan turun cukup deras. Di rumah sunyi sepi. Televisi saya nyalakan. Remote TV pun bekerja. Bolak-balik saya pijit tombol angka pada permukaannya, tak juga ditemukan saluran yang menayangkan acara berbobot. Tujuh puluh persen stasiun TV menayangkan sinetron yang saya tidak pernah suka. Akhirnya saluran kembali berpindah. Kali ini ke stasiun TV lokal Bandung. Acaranya pagelaran pertunjukkan wayang golek. Sepertinya acara sudah berlangsung cukup lama.

Saya bertahan di pagelaran wayang golek. Saya ingin tahu lakon yang dibawakan dan siapa dalangnya. Ternyata lakonnya adalah pencarian satria piningit yang melegenda. Sang dalang adalah juga dalang legendaris wayang golek, Asep Sunandar Sunarya. Beberapa kali kamera mengarah ke arah penonton. Rupanya di situ ada Gubernur Jawa Barat. Pagelaran sendiri diadakan di Sumedang. 

Kisah pun terus berlanjut. Alkisah, Semar bersama seorang patih pergi bersemedi. Semar mengatakan bahwa ia dan sang patih akan turun ke negeri lain untuk mencari satria piningit dan mereka berdua pun bersalin rupa (atau justru Semarlah sang satria piningit itu?) menjadi ksatria untuk menjalankan tugas di suatu negeri yang sedang carut-marut.

Singkat cerita, Semar dan patih yang sudah salin rupa pun pergi mengemban tugas. Rupanya Cepot, putra Semar, kehilangan ayahnya. Ia mencari-cari sang ayah ke mana-mana. Tak jua ia temukan sang ayah. Cepot, yang seperti biasa sangat interaktif dengan penonton, bertanya pada penonton ke mana gerangan ayahnya pergi. Penonton tak ada yang memberi tahu. Alih-alih, Cepot justru melihat kehadiran sang Gubernur. Ia pun akhirnya berdialog dengan sang Gubernur.

Lalu apa yang istimewa dari kisah di atas? Yang akan disoroti di sini bukanlah lakon yang dibawakan pada pagelaran tersebut, bukan pula mengenai kesenian wayang yang sudah sangat langka. Yang akan menjadi fokus kali ini justru adalah sang pengatur lakon, sang dalang.

Beberapa pengertian mengenai "dalang" bisa dilihat di catatan Buku Muka (Facebook) dalang Asep Sunandar Sunarya sediri di tautan berikut: http://www.facebook.com/notes/asep-sunandar-sunarya-grh-3/dalang/113133478720799. Ada sembilan definisi "dalang" dalam tulisan tersebut. Apapun definisi yang diambil, yang terpenting adalah memahami peran dalang dalam sebuah pertunjukkan.

Dalang adalah seorang serbabisa yang berlaku sebagai aktor, sutradara, penyusun naskah, sekaligus pendongeng dalam sebuah pagelaran wayang terutama wayang golek dan wayang kulit. Oleh karena perannya yang sangat beragam tersebut, maka seorang dalang haruslah seseorang yang memiliki kecerdasan dan kepekaan tinggi. Ia harus memiliki imajinasi, kreativitas dan pengetahuan yang luas. 

Bisa dilihat dalam adegan Cepot berdialog dengan Bapak Gubernur, bagaimana sang dalang harus memiliki pengetahuan politik dan sosial yang aktual. Ia harus bisa menyesuaikan lakon-lakon klasik dengan situasi saat ini, meskipun menggunakan tokoh-tokoh wayang klasik seperti Pandawa dan Kurawa. Bisa dibayangkan jika seorang dalang tidak inovatif, maka orang akan sudah bosan dengan cerita yang itu-itu saja dan bisa dipastikan saat ini seni pagelaran wayang sudah tidak ada lagi peminatnya. Namun hal itu tidak terjadi, karena sang dalang mampu beradaptasi dengan kondisi sosial budaya aktual sehingga unsur penghiburan dan pendidikan dari suatu pertunjukkan wayang tetap mampu membuat para penggemarnya bertahan.

Dalang harus mampu merangkai cerita sebagai penulis naskah, ia harus mampu membawakan cerita bak seorang pendongeng, ia harus mampu memainkan cerita tersebut melalui berbagai karakter wayang sebagai multi-aktor, ia harus mampu menyampaikan pesan-pesan moral pada masyarakat lewat ceritanya seperti seorang guru, ia harus mampu menghibur penontonnya lewat selingan candaan seperti pelawak, ia harus berwawasan luas dan terbuka. Sepertinya itulah esensi seorang dalang. Dalang adalah sutradara, penulis naskah, pendongeng, aktor, guru, pelawak/penghibur, pembelajar sejati. Sungguh luar biasa kemampuan seorang dalang.

Dalam dunia pewayangan, ternyata unsur utamanya adalah dalang. Tanpa kehadiran dalang yang mumpuni, akan punah pula tradisi pendidikan luar biasa ini. Wayang sejak dulu telah digunakan sebagai media pendidikan, selain penghiburan, seperti yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga untuk mendakwahkan Islam. Perlu pula kiranya saat ini peran seorang dalang untuk memintarkan masyarakat, terutama masyarakat yang jauh dari akses pendidikan tinggi berkualitas. Seorang dalang dan wayangnya sebetulnya dibutuhkan untuk memberikan informasi mengenai aktualitas dan mendidik masyarakat terkait aktualitas tersebut. 

Akankah pemerintah yang berkepentingan melihat dalang dan wayang seperti itu? Sebagai salah satu medium pencerdasan masyarakat? Akankah ada kepedulian lebih banyak pada kesenian wayang dan para pelakunya untuk kepentingan bangsa yang lebih luas? Semoga seni adiluhung ini tidak berhenti di tingkat dokumentasi dan pencatatan wayang (kulit) sebagai Oral World Intangible Heritage-nya UNESCO. Semoga di masa mendatang segera lahir Asep-Asep Sunandar Sunarya yang lain. 

 

Jumat, 12 Oktober 2012

Braga Project Poster

Exhibition starting today until 14 of October at Rutgers Chaps University, New Jersey, USA.

Braga Project, usulan untuk perbaikan kawasan Braga berdasarkan kondisi aktual.


Posternya sudah sampai ke Amerika, semoga orangnya segera menyusul :)
Wish I were there :(

Senin, 08 Oktober 2012

202 Tahun Bandung

Dirgahayu Bandung ke-202, 25 September 2012. Selama lebih dari 200 tahun perjalanan, sudah menjadi apakah kota ini? Semakin sehat atau semakin sakit? Akan dibawa ke mana ia di tahun-tahun mendatang?
Bandung selalu mengundang. Pesonanya yang rapuh selalu mampu membawa orang datang ke kota ini entah untuk tinggal maupun sekedar singgah. Beberapa tahun terakhir, Bandung berubah menjadi semakin metropolitan dengan bermunculannya struktur-struktur tinggi di berbagai bagian kota yang seolah tanpa rencana. Atau memang tidak terencana?
WHO (2001) mengidentifikasi  sebelas kriteria kota sehat, yaitu, bahwa kota harus merupakan lingkungan fisik yang aman, bersih, berkualitas tinggi; ekosistem yang stabil dan berdaya dukung untuk jangka panjang; komunitas yang kuat dan saling mendukung; memiliki tingkat partisipatif dan kontrol publik yang tinggi terhadap berbagai kebijakan yang mempengaruhi hidup, kesehatan, dan kesejahteraan warganya; adanya pemenuhan kebutuhan dasar untuk semua warga kota; adanya akses yang luas kepada pengalaman hidup dan sumber daya kota dengan berbagai kesempatan terhadap kontak sosial, interaksi dan komunikasi; ekonomi kota yang inovatif, vital dan beragam; adanya dorongan untuk selalu berhubungan dengan sejarah, warisan biologis dan warisan budaya warga kota; kompatibel dan mampu meningkatakan karakteristik kota yang telah ada; adanya pelayanan optimum terhadap kesehatan masyarakat yang layak bagi semua warga yang sakit; memiliki status kesehatan yang baik. Kehilangan satu dari kriteria tersebut, maka berarti tingkat kesehatan kota tersebut menurun. Bagaimana dengan Bandung?
Dari sebelas kriteria tersebut, berapa yang bisa dipenuhi oleh Bandung? Akan terlalu panjang untuk mengulas ke-11 kriteria kota sehat tersebut satu per satu. Penulis akan berfokus pada beberapa poin kriteria dalam pembahasan ini, yaitu, yang pertama adalah lingkungan fisik yang aman, bersih, berkualitas. Tingkat keamanan di Bandung menurun. Di surat kabar cukup sering ditemukan surat pembaca yang isinya meminta agar surat-surat berharga yang “terambil” orang dikembalikan pada pemiliknya. Pun demikian dengan kebersihan. Cukup banyak ulasan berita dan foto terpampang menunjukkan tumpukan sampah di pinggir jalan. Hal ini diperparah sikap warga bermental sampah. Mereka menganggap ruang kota sebagai tempat sampah besar sehingga dengan bebasnya melempar berbagai sampah dari dalam mobil ke jalan atau sungai. Belum lagi masalah air bersih yang terbatas.
Poin berikutnya “adanya akses yang luas kepada pengalaman hidup dan sumber daya kota dengan berbagai kesempatan terhadap kontak sosial, interaksi dan komunikasi”. Banyak apartemen dan hotel tinggi sekarang tengah dibangun. Hunian-hunian vertikal berdiri megah di berbagai sudut kota tanpa pengaturan yang jelas. Rumah-rumah cul-de-sac pun semakin merajalela. Dinding kokoh membenteng rumah-rumah mewah yang pada akhirnya memutus komunikasi antara penghuni yang sebetulnya saling bertetangga dan semakin menampakkan kesenjangan sosial yang memang sudah tampak. Pengalaman hidup di kota pun menjadi semakin monoton dengan berdirinya mal-mal baru. Meskipun banyak mal gagal menarik simpati pengunjung, selalu muncul mal baru di sisi kota yang lain. Interaksi sosial dan komunikasi menjadi barang langka. Orang hanya sekedar saling melihat tanpa perasaan di dalam mal. DK Halim dalam Psikologi Lingkungan Perkotaan (2008) menyatakan bahwa banyaknya mal bukanlah tanda peningkatan ekonomi suatu kota tetapi tanda sakitnya suatu kota. Benih-benih perpecahan pun bermunculan didukung oleh individualisasi warga kota dalam hunian vertikal dan mal. 
Juga penting untuk melihat “adanya dorongan untuk selalu berhubungan dengan sejarah, warisan biologis dan warisan budaya warga kota” yang terkait erat dengan poin “kompatibel dan mampu meningkatkan karakteristik kota yang telah ada”. Warga kota yang baik dan sehat adalah warga yang peduli dengan sejarah dan budaya kotanya. Disitulah kedinamisan budaya berkembang. Kota yang tidak peduli dengan sejarahnya sama seperti orang yang mengalami hilang ingatan. Sejarah dan budaya kota membentuk karakter kota tersebut. Warga kota harus dapat melihat perkembangan kotanya melalui lapisan-lapisan kota yang terbentuk. 
Bandung memiliki karakter kuat sebagai kota abad 20 yang dibangun sangat terencana dengan perkembangan pesat. Kota ini membutuhkan orang-orang kompeten yang mampu meningkatkan karakteristik kota yang telah ada. Namun yang terjadi saat ini adalah ketidak-kompetenan mengambil alih kota secara paksa sehingga karakter kota yang khas berkurang dari hari ke hari digantikan apartemen dan hotel-hotel mewah. 
Lihat saja kawasan Braga yang gedung-gedung berarsitektur art-deconya berguguran satu demi satu. Dimulai dengan munculnya Braga city walk yang menjadi mal sepi pengunjung, disusul dengan hotel Genuci berlantai lima belas, dan sebentar lagi hotel Ibis berlantai entah berapa belas. Karakter Braga yang ramah pejalan kaki dan aman semakin menghilang. Belum lagi jalan andesit yang bermasalah. Daripada membuat Braga sekarat dalam waktu tak terbatas, apakah tidak lebih baik jika kawasan ini di-euthanasia saja sekalian?
Bandung 202 tahun rupanya belum mendapat perhatian layak dari warga dan para pemangku jabatannya. Ia dipaksa menjual diri untuk kepentingan komersil kalangan tertentu. Meskipun pamornya tak pernah turun, ia kelelahan dan terbebani. Untungnya semakin banyak anak-anak Bandung yang berkarya untuk menyelamatkannya. Rupanya, “hantu-hantu” Bandung baheula tetap menebar pesonanya (penulis, PR 2011).

Sabtu, 11 Agustus 2012

Manual Karya Arsitektur?

Seorang arsitek, ketika ia merancang sebuah bangunan, besar maupun kecil, apakah harapannya? 

Seorang arsitek selain ingin memenuhi kebutuhan kliennya, ia juga ingin mengungkapkan ekspresi seni yang dimilikinya. Ia berpuisi dengan karyanya. Karya arsitektur berdialog dengan para pemakainya. Ia menyampaikan pesan-pesan sang arsitek yang mungkin tak tertangkap oleh pengamatnya. 

Arsitektur, suatu karya yang tidak dibuat untuk sekedar memenuhi kebutuhan sesaat yang hanya berlangsung satu dua tahun, kecuali dibuat dalam kegiatan pameran yang hanya berlangsung satu dua minggu. Itu pun banyak karya yang pada akhirnya menjadi abadi.

Setiap arsitek yang berkarya tentu berharap karyanya abadi. Apalagi jika karya tersebut dinilai sebagai sebuah maha karya atau bahasa gayanya master piece oleh pengguna atau pengamatnya. Tentu sang pembuat karya tak akan rela seandainya karyanya tersebut di kemudian hari lalu diacak-acak orang-orang tak berselera seni demi memuaskan hasrat liar pemilik barunya.


Beberapa bulan yang lalu saya membawa dua pasang turis asal Belanda untuk melakukan tur arsitektur di sekitar Bandung. Salah seorang diantaranya adalah seorang arsitek. Hans namanya. Ketika kami berada dalam Gereja Bethel ia memberikan suatu pemikiran baru mengenai arsitek dan arsitektur. 

"Pikirkan, jika peralatan elektronik saja, yang dijual secara masal, dilepas ke pasar dengan buku manual penggunaan. Bukankah seharusnya setiap karya arsitektur pun memiliki buku petunjuk pemakaian? Warna cat yang seharusnya dipakai, perawatan-perawatan yang harus dilakukan, perubahan-perubahan yang mungkin dilakukan sesuai dengan visi arsitek pembuatnya."

Apa yang dikatakan Hans ada benarnya juga. Meskipun untuk analogi peralatan elektonik, sering kali pemakai tidak membaca buku petunjuknya. Namun jika dikaji lagi, suatu karya seni seperti lukisan, literatur, musik, tari atau patung, tidak pernah ada orang yang berani mengubah karya tersebut seenaknya. Jika pun karya tersebut dinilai jelek dan tak bernilai, kemungkinan besar karya tersebut akan tersisih dan kemudian terbuang, di luar isu-isu politik, religius dan sosial yang sering mewarnai polemik penghargaan terhadap suatu karya seni. 

Pun sama halnya dengan arsitektur. Arsitektur juga merupakan karya seni seperti juga karya seni lain. Beberapa tersisih atas nama politik, agama, bahkan bisnis. Yang lain, yang tersisa, bertahan di antara puing-puing kekacauan yang semakin menggila.

Kenyataan saat ini, karya-karya arsitektur yang dibangun lebih dahulu sering kali kemudian berpindah kepemilikan, kemudian beralih fungsi, berubah wujud dan lebih parah lagi, hilang di balik riangnya hantaman palu. Satu lingkungan yang tadinya asri dan nyaman, menjadi beragam dan berantakan. Setiap orang dengan egonya ingin menunjukkan kuasa atas apa yang dimilikinya. Hal ini yang kemudian membawa pada kerusakan dalam skala yang lebih besar, kekacauan lingkungan.

Sayangnya kekacauan tersebut juga didukung oleh arsitek-arsitek yang manut menuruti nafsu sang penguasa karya. Padahal kebanyakan arsitek pasti mengiginkan karyanya abadi dan dihargai. Bagaimana karya arsitek hari ini bisa dihargai jika mereka tidak bisa menghargai karya para arsitek sebelum mereka?


*Curahan hati arsitek pelestari*


Selasa, 01 Mei 2012

"Quo vadis" Perda Cagar Budaya?

Foto ini adalah artikel yang terbit 19 April 2012 di HU Pikiran Rakyat. Di bawah adalah tulisan asli yang saya kirim ke redaksi berikut revisinya.

Tanggal 18 April adalah hari monumen dan situs internasional yagn ditetapkan oleh ICOMOS (International Council on Monuments and Sites). Kota Bandung yang merupakan kota dengan kekayaan budaya dan kekayaan monumen abad 20 dan kekayaan situs bersejarah lainnya meryakannya dengan penghancuran gedung-gedung tua pembentuk wajah kota dan penelantaran situs-situs. 

Belum lama ini berita pembongkaran SMAK Dago muncul di media. Bangunan yang berdiri berdampingan dengan SMAN 1 Bandung, yang juga merupakan gedung tua, tersebut telah kehilangan atapnya. Sungguh mengejutkan, mengingat belum lama ini lahan dan bangunan disengketakan oleh orang-orang yang berkepentingan. Sudah selesaikah sengketa tersebut?

Terlepas dari permasalahan sengketa, Kota Bandung sudah memiliki Perda dan Perwal mengenai perlindungan kawasan dan cagar budaya. Rupanya aturan-aturan ini tak bergigi menghadapi para investor yang minim kepedulian terhadap lingkungan.

Penulis mengangkat berita pembongkaran SMAK Dago sebagai pemenuhan Hak dan Kewajiban penulis selaku warga kota yang telah menghuni kota ini sejak lahir untuk:
menikmati keberadaan kawasan dan/atau bangunan cagar budaya; memperoleh informasi yang berkaitan dengan pengelolaan dan/atau bangunan cagar budaya; berperan serta dalam rangka pengelolaan kawasan dan/atau bangunan cagar budaya sesuai dengan peraturan perundang-undangan” pasal 7 Perda no. 19 thn 2009.
...menjaga kelestarian kawasan dan/atau bangunan cagar budaya serta mencegah dan menanggulangi kerusakan kawasa dan/atau bangunan cagar budaya” pasal 8 Perda no. 19 thn 2009.

Pembongkaran terhadap suatu “monumen” yang diduga memiliki nilai kesejarahan, menurut Perda dan Perwal, ijinnya hanya bisa dikeluarkan oleh Walikota. Namun, mengingat UU no. 11 tahun 2012  2010 mengenai Cagar Budaya, pemerintah kota maupun pemerintah daerah tidak berhak mengeluarkan ijin pembongkaran. Dalam UU tersebut tercantum tugas-tugas pemerintah berkaitan dengan perlindungan cagar budaya. Dengan kata lain, bukankah ini artinya Perwal tadi telah melanggar undang-undang yang ada? Bukankah seharusnya dengan adanya UU Cagar Budaya, semua peraturan yang melanggar UU tersebut gugur dengan sendirinya? Di sini saya perlu bantuan ahli hukum untuk meluruskan pemahaman saya.

Kembali ke SMAK Dago, apakah pihak pembongkar sudah mengajukan permohonan ijin pembongkaran? Mengingat sebuah sekolah merupakan fasilitas publik yang boleh, dan seharusnya bisa, dinikmati publik secara terbuka. Jika belum, maka telah terjadi pelanggaran terhadap UU no. 10 tahun 2010 no. 11 tahun 2010, Perda no. 19 thn 2009 dan Perwal. 

Pihak pemilik, penghuni, dan pengelola SMAK Dago dan gedung-gedung tua lain, serta situs-situs di seluruh Bandung ini sebetulnya memiliki kewajiban dan hak untuk:
“...memelihara kelestarian kawasan dan/atau bangunan cagar budaya; ... yang melaksanakan pemugaran sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku, berhak mendapat kemudahan perijinandan/atau insentif pembangunan lainnya, yang ditetapkan dengan perwal”  pasal 9 Perda no. 19 tahun 2009.
...melindungi, memelihara dan melestarikan lingkungan dan bangunan cagar budaya tersebut; ...wajib melaksanakan pemeliharaan atau pemugaran sesuai dengan ketentutan yang berlaku...” pasal 10 Perda no. 19 tahun 2009. Bahkan kewajiban tersebut tidak gugur ketika terjadi sengketa. Bagi kawasan dan cagar budaya yang telah ditetapkan, perpindahan kepemilikan tidak mengubah status kawasan atau CB tersebut. Bahkan penelantaran pun, seperti yang terjadi terhadap banyak CB seperti ex Au Bon Marché, merupakan sebuah pelanggaran peraturan. 

Dalam pelaksanaan pelestarian, pemerintah daerah dapat melakukan penataan dalam kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya. Kawasan Dago termasuk di antaranya. Hal lainnya adalah bahwa pengendalian kawasan dan/atau bangunan cagar budaya harus sesuai dengan rencana kota, dan sebaliknya rencana kota harus menunjang pelestarian kawasan dan/atau bangunan cagar budaya (Pasal 21 Perda no 19 tahun 2009). Mungkin bisa disimpulkan dari kalimat tersebut, bahwa rencana kota yang mengancam perlindungan cagar budaya bukanlah rencana kota yang bervisi dan bukan rencana yang baik dan benar, karena melanggar perdanya sendiri?

Satu permasalahan lagi adalah penggolongan kawasan dan cagar budaya. Dalam UU no. 10 tahun 2010 no. 11 tahun 2010, penggolongan CB hanya didasarkan pada kriteria daerah (lokal), provinsi, dan nasional. Dalam Perda dan Perwal kota Bandung masih terdapat penggolongan A, B, C dan seterusnya yang sebetulnya menyalahi inti dari pelestarian. Kalau mau melestarikan ya lestarikan saja. 

Masalah lainnya muncul kemudian, ketika pemilik lama CB menjual propertinya pada investor yang tidak peduli lingkungan. Tidak salah untuk menjual properti pada pihak lain, tetapi alangkah baiknya jika pemilik tersebut memilih investor yang peduli lingkungan. Beberapa perusahaan (investor) yang peduli lingkungan diantaranya BJB, OCBC NISP, BTPN, PT. KAI, dan mungkin institusi militer? Saya belum melihat investor lain yang cukup memiliki kepedulian terhadap lingkungan urban dan kota tua. Semoga saja lebih banyak lagi investor seperti perusahaan-perusahaan tersebut agar Bandung tidak penuh oleh bangunan belasan lantai yang mengambil hak air dan matahari warga sekitarnya, seperti yang sudah terjadi di Braga dan mungkin juga di tempat-tempat lain.

Selamat hari monumen dan situs internasional. Mari bersama selamatkan Bandung.

Minggu, 11 Maret 2012

Refleksi Pelatihan Madya

Tanggal 10-11 Februari lalu saya mengikuti pelatihan advokasi warisan budaya yang dikoordinir oleh MADYA atau Masyarakat Advokasi (Warisan) Budaya. Saya datang untuk memenuhi undangan kawan sesama pelestari, yang kebetulan juga merupakan koordinator LSM tersebut, dan untuk mewakili LSM tempat saya bernaung. Saya dan koordinator MADYA bertemu pertama kali di Bandung pada awal tahun 2011 di Kedai Kopi Mata Angin (tidak bermaksud untuk promosi). Sebetulnya perkenalan kami sudah dimulai sejak lama, sejak dibentuknya MADYA untuk pertama kali dan kontak kami berlanjut hingga saat ini. 

Berbagai persoalan terkait warisan budaya dan pelestariannya dibahas dalam pelatihan tersebut. Sorotan utama adalah pada proses advokasi. Awalnya diskusi dan pemaparan berfokus di ranah hukum, meskipun demikian, pada akhirnya disepakati bahwa proses advokasi meliputi semua kegiatan yang bertujuan untuk melestarikan warisan budaya. Tanpa melihat bentuk tindakan yang dilakukan (tentunya tidak termasuk tindakan makar).

Dari beberapa kasus yang mencuat dalam diskusi, tampak bahwa kebanyakan pelestari mengambil langkah dan metoda akar rumput, tetapi melupakan lobi di tingkat eksekutif. Dengan demikian berbagai proses advokasi yang terjadi menjadi kegiatan perlawanan dan kontra eksekutif. Hal yang sebetulnya wajar dilakukan berbagai LSM. Kisah dengan warna sedikit berbeda sebetulnya telah dilakoni oleh Bandung Heritage ketika mereka bersikap ekslusif dan menempatkan diri pada strata eksekutif meskipun tetap pada posisi berlawanan. Yang pada akhirnya ekslusivitas ini menjadi wajah dan citra organisasi, sehingga membuat masyarakat akar rumput merasa perlu menggantungkan diri pada organisasi ini untuk berbagai permasalahan yangterkait dengan warisan budaya dan cagar budaya. Tampaknya sikap ideal adalah dengan melakukan kontak intensif di kedua sisi eksekutif dan akar rumput.

Hal yang cukup menarik perhatian saya adalah ide untuk menjadi pelestari cerdas. Ide tersebut dilontarkan salah seorang peserta, yang saya lupa namanya. Peserta ini mencontohkan bahwa dalam pelestarian warisan budaya, kita berkejaran dengan waktu. Hal yang sangat benar adanya. Ketika kita sibuk melakukan lobi di berbagai tingkatan, secara legal ataupun ilegal, ada pihak-pihak yang secara sadar melakukan aksi untuk menghabisi warisan budaya tersebut. Sehingga ketika pada akhirnya lobi berhasil dan kesepakatan diperoleh, warisan budaya tadi mungkin sudah hilang tanpa sisa. Oleh karena itu, perilaku cerdas perlu diakukan. Misalnya seperti kasus penyelamatan Mount Builder suku Indian di Amerika Serikat. Untuk menggolkan upaya mereka dalam menyelamatkan situs tersebut, LSM setempat berlomba dengan investor. Pada akhirnya salah satu upaya mereka membuahkan hasil. Mereka mengundang investor lain yang mau berinvestasi di situs tersebut. Investor yang diundang untuk menandingi investor pemerintah adalah pengembang lapangan golf. Upaya tersebut berhasil baik. Lapangan golf terbangun dan situs Mount Builder tetap lestari. 


Sekarang, bagaimana kita menyiasati hal serupa di Indonesia? Di sinilah kreativitas kita diuji. Saya secara pribadi belum berbuat banyak terhadap warisan budaya, baru sebatas tahap pencarian dan pencatatan. Ide-ide yang telah dikembangkan bersama kawan-kawan pelestari di Bandung belum menghasilkan apapun dikarenakan kesibukan masing-masing. Mungkin hal paling sederhana yang bisa dilakukan saat ini adalah dengan menulis. Dengan harapan tulisan ini dapat menginspirasi dan mengawali sesuatu yang lebih besar. 

Berikut adalah tautan sebuah tulisan mengenai pelatihan ini yang ditulis oleh peserta asal Solo.

Salam pelestarian!

Senin, 02 Januari 2012

Musikal Lutung Kasarung - ulasan pribadi

Saya sebetulnya ingin mengulas sejak beberapa hari yang lalu. Sayang, jaringan internet yang jelek menghambat. Maka inilah posting pertama saya di tahun 2012. 
 
Pohon langit Lengser dan Pohaci Ambu muncul untuk menceritakan sebuah legenda. Legenda yang sangat dikenal tentang perjalanan penghukuman dan pembebasan diri dari penghukuman lewat ketulusan dan kasih sayang. Kisah tentang pangeran langit yang dihukum turun ke bumi karena hanya bersedia menikah dengan wanita yang seperti ibunya, Sunan Ambu. Kisah yang membalikkan kenyataan antara si sulung yang biasanya paling banyak berkorban dengan si bungsu yang biasanya manja dan mau menang sendiri. 

Di bumi pergolakan tengah terjadi. Sang raja mangkat. Putri-putrinya yang berjumlah tujuh diperintahkan menjaga wasiatnya. Purbasari, putri termuda harus naik takhta. Purbararang, putri tertua memegang tampuk kekuasaan hingga si bungsu beranjak dewasa.  

Namun kekuasaan membutakan sang kakak. Ia pun mengupayakan berbagai cara untuk menyingkirkan sang adik. Jodoh memang tak akan ke mana. Putri kecil dikirim ke hutan dan akhirnya bertemu sang Lutung, jelmaan Guruminda. Lutung pun membantu putri kembali ke takhta. Dan ia pun, karena ketulusannya, dibebaskan dari hukuman untuk memimpin negeri bersama Purbasari.

Cerita dibalut sentuhan modern dengan sedikit nyepet-nyepet keadaan di negeri ini. Alunan musik, nyanyian dan tarian dalam musikal ini tertata apik diselingi nuansa etnik yang kental sungguh sangat menghibur. Diselingi humor-humor ringan dalam bahasa Sunda, teater musikal ini seharusnya menjadi tontonan rutin masyarakat. Duet jaipong tukang bubur dan istrinya betul-betul luar biasa, paporit pokona mah. Vokal para pemain pun sangat baik. Vokal terbaik favorit saya adalah Sunan Ambu dalam balutan kostum yang sangat indah dan megah. Ngomong-ngomong kostum, mahkota lutung mengingatkan saya pada Raja Julian Si Ekor Cincin dari Madagaskar hehe

Dengan harga tiket yang lumayan tinggi, agak sulit bagi masyarakat biasa bahkan untuk sekedar berpikir menyaksikan pertunjukan ini. Mungkinkah jika pertunjukan dibuat rutin harga tiket dapat diturunkan? Tapi kasihan juga para pemainnya.

Hal yang mengganjal dalam pertunjukan adalah penempatan panggung yang besar sehingga hampir memakan seluruh ruang Sabuga. Penonton kelas 2 nyaris tak dapat melihat apa-apa kecuali stager-stager. Untuk 150 ribu rupiah, hanya dapat melihat stager adalah hal yang sangat mengecewakan. 

Hal lain yang mengganggu adalah presentasi seluruh kru pendukung pertunjukan di akhir acara. Seluruh kru pendukung belakang layar ditampilkan satu per satu, sesuatu yang sebetulnya tidak terlalu penting. Mungkin maksudnya adalah untuk memberikan penghargaan pada tiap kru, tetapi justru menjadi bagian yang paling mengganggu dan membosankan penonton. Cukuplah penghargaan terhadap kru disebutkan secara sekilas, diwakili oleh para pemain yang muncul serempak dan memberikan salam akhir pada penonton. Setidaknya itulah yang saya lihat ketika menonton teater di Jerman, sehingga tepuk tangan penonton pun terdengar meriah dan membahana di seluruh ruang teater. Tentunya mendengar tepukan tangan meriah dari penonton akan lebih membanggakan bagi pemain dan kru. Hal yang tidak terdengar di Sabuga karena musik terus mengalun dan MC terus menyebutkan nama-nama tanpa henti. Akhirnya tepuk tangan kami kasilep alunan musik, dan kami pun menjadi agak malas bertepuk tangan berkali-kali. 

Secara keseluruhan, musikal ini wajib ditonton oleh masyarakat Sunda. Karena masyarakat Sunda terbentang dari Jawa Barat hingga Banten. Dua jempol untuk lutung. 

*n.b. Poster diunduh dari situs resmi Musikal Lutung Kasarung.