Senin, 31 Mei 2010

Indonesia dan World Heritage

Pernahkah mengunjungi Portal UNESCO? Di sana bisa dilihat daftar negara peserta dan daftar warisan budaya yang disahkan UNESCO sebagai warisan budaya dunia (World Heritage). Di sana juga bisa ditemukan berbagai warisan budaya masing-masing negara yang diajukan namun tidak diterima. Sebut saja Masjid Agung Demak, kompleks kraton Jogjakarta, Tana Toraja dan terakhir Bali.

Mengapa sampai terjadi penolakan terhadap warisan budaya yang diusulkan?
Ada banyak alasan, salah satu di antaranya adalah kurangnya pemenuhan persyaratan yang diminta. Misalnya untuk Masjid Agung Demak. Masjid ini, seperti juga semua bangunan umum yang berfungsi di Indonesia telah direnovasi dan mengalami perubahan berkali-kali. Bagi logika Occidental hal ini tidak bisa diterima karena telah menghilangkan nilai otentisitas (keaslian) karya tersebut meskipun kita mengatakan bahwa bentuk dasarnya tidak berubah (atap tumpang dan denah persegi).

Bagi bangsa Eropa, yang disebut benda peninggalan asli adalah benda yang benar-benar asli dari masa lalu termasuk material yang digunakan tidak boleh diganti. Boleh diperbaiki, tapi tidak boleh diganti. Sebaliknya, di Jepang, keaslian adalah sepanjang bentuk, detil dan tata cara pembuatan sama maka benda itu asli meskipun material yang digunakan baru. Oleh karena itulah muncul piagam Nara yang mendefinisikan ulang pemahaman tentang 'keaslian' demi mengakomodasi perbedaan cara pandang. Namun Indonesia, tidak memiliki budaya seperti Jepang. Keaslian tidak terlalu penting untuk dijaga.

Kasus kedua mengambil contoh pengajuan Bali sebagai saujana budaya dunia. Dari rangkuman proposal yang diajukan, tidak terdapat nilai lebih Bali agar bisa diterima. Proposal tersebut hanya mengedepankan Tri Hita Karana sebagai nilai lebih pemanfaatan lahan di Bali tanpa menyebutkan dengan jelas apa sebenarnya yang dimaksud dengan Tri Hita Karana tadi. Jika demikian saja, apa bedanya teras-teras sawah di Bali dengan teras-teras sawah di Filipina yang sudah lebih dulu masuk sebagai saujana budaya dunia? Apa pula bedanya dengan teras-teras sawah yang ada di sepanjang pulau Sumatra dan Jawa dan seluruh Asia Tenggara? Tidak ada penjelasan yang memberi keistimewaan pada kawasan yang dipilih.

Selain itu pengajuan tampak tidak fokus pada tema yang ingin dikedepankan. Proposal mencampurkan antara continuing landscape dengan relict. Belajar dari Italia, mereka selalu terfokus pada satu tema dan mencari logika untuk mengangkat karya budaya dengan tema yang dipilih.

Ada banyak sekali warisan budaya dan sejarah di Indonesia yang bisa diangkat dan diajukan sebagai warisan budaya dunia. Tinggal cara pengusulan dan logika yang digunakan harus mampu membaca permintaan UNESCO yang notabene diisi logika Eropa.


Kamis, 27 Mei 2010

Tentang Palaguna

Sebuah pesan masuk, seseorang meminta saran untuk desain pemanfaatan lahan ex-Palaguna. Ia mendapat tugas kuliah untuk merancang kawasan tersebut. Saya katakan bahwa kawasan tersebut memiliki potensi budaya. Di sekitarnya terdapat Gedung Merdeka yang bersejarah, hotel Swarha yang telah lama beralih fungsi menjadi pertokoan, masjid agung kota dan alun-alunnya. 

Saya sarankan untuk membuat sebuah kompleks pusat kebudayaan di lahan Palaguna tersebut dengan mempertimbangkan aspek-aspek tadi. Saya sarankan untuk membuat pusat kebuadayaan berisi galeri skala kota (untuk umum) karena galeri yang ada di Bandung saat ini hampir semua merupakan milik pribadi, perpustakaan dan mungkin arena kesenian (terbuka dan tertutup) untuk mengakomodasi kegiatan budaya mengingat masyarakat bandung, terutama kaum muda sangat dinamis dan kreatif. Pusat kebudayaan ini akan sangat mendukung misi Bandung kota kreatif karena akan dapat mengakomodasi kebutuhan berkreasi warganya. Selain itu, Bandung sudah mulai jenuh dengan banyaknya sarana komersial yang semakin bertambah dari tahun ke tahun.
Akan tetapi, ia menolak ide saya. Katanya tampaknya kawasan tersebut kembali akan dijadikan kawasan komersial dan ia lebih memilih ide membuat kawasan komersial. Bagi saya tidak jadi masalah, toh ini hanya saran untuk tugas kuliah. Namun saya menyayangkan pola pemikiran yang hanya tertumpu pada perancangan tanpa melihat aspek budaya dan waktu. Sesuatu yang saya pelajari selama dua tahun terakhir, sebuah pengetahuan tentang manajemen.

Rupanya kacamata arsitek perancang dan kacamata manajemen sedikit berbeda. Deasin yang cantik memang penting tapi ia tidak bolah mengorbankan unsur-unsur pendukung untuk menentukan fungsi (baru) suatu kawasan. 

Pagi ini saya membaca tulisan seorang kawan yang dimuat di sebuah harian nasional. Beliau menuliskan bahwa pemerintah kota akhirnya memutuskan untuk membuat perpustakaan di lokasi Palaguna tersebut. Ide ini ternyata mendapat dukungan dari pembaca. Jadi saya rasa apa yang saya sampaikan pada kawan lain untuk tugas kuliahnya sudah berada pada jalur yang benar. Saya sudah berpikir logis dan terarah dengan melihat potensi dan permasalahan yang ada saat ini. Sayangnya, kebanyakan masyarakat Indonesia masih berkiblat ke Barat yang sangat logis dengan memakai pola pikir Timur yang emosional sehingga informasi yang terolah belum sempurna.

Kembali ke Palaguna, jika ide seperti yang telah saya utarakan (setidaknya sebagian) bisa dikembangkan, maka Bandung akan memperoleh pamor sebagai kota budaya, tidak hanya kota belanja dan makan. Kelengkapan sarana kota untuk akitivas kebudayaan akan sangat menunjang kemajuan kota dan kegiatan berkreasi masyarakat yang dinamis untuk Bandung kota kreatif.


Buat museum lebih menarik yuk!

Pertengahan tahun lalu saya kembali mengunjungi Museum Geologi Bandung. Terakhir kali saya berkunjung adalah ketika saya SMP. Hampir 15 tahun yang lalu.

Ternyata kondisi museum belum berubah sejak pertama kali saya kunjungi 15 tahun yang lalu. Dengan tata ruang yang masih sama. Semua koleksi tampak ditaruh begitu saja tanpa penjelasan berarti, tanpa penataan yang menarik. Bahkan di bagian batuan alam penjelasannya bahkan sama sekali belum diperbarui dengan data mutakhir. Sungguh sangat disayangkan karena koleksi museum tersebut cukup bagus. Terutama koleksi arkeologi berupa kerangka binatang purba dan replika tengkorak manusia purba.

Saya sebagai seseorang berlatar pendidikan arsitektur dan juga perancang selama 3 tahun merasa gatal ingin mengubah dan mempercantik tampilan koleksi museum agar bisa menarik lebih banyak pengunjung. Saya bahkan sempat mengintip buku tamu dan di sana terdapat tak sedikit nama asing yang tertulis. Artinya banyak pengunjung mancanegara datang ke museum ini, bahkan ada di antaranya adalah peneliti.

Bertolak dari pengalaman mengunjungi berbagai jenis museum di Eropa, mempercantik tampilan dan tata letak koleksi serta penambahan sedikit penjelasan sejarah tentu tidak akan menyakiti museum. Sebaliknya, saya yakin hal itu akan membantu museum berkembang dan menjaring lebih banyak pengunjung.

Di Museum Geologi Bandung, koleksi paling istimewa adalah kerangka T-Rex diikuti kerangka hewan langka lain dan replika tengkorak manusia purba. Untuk menjaring pengunjung usia muda (anak-anak), kerangka T-Rex adalah primadona. T-Rex bisa ditaruh di satu ruangan tersendiri, di tengah-tengah ruangan sebagai penarik perhatian. Di sekeliling ruangan akan sangat baik bila disusunkan semacam lukisan besar atau penjelasan tentang T-Rex dan dunia pra-sejarah dalam versi yang lebih baik daripada yang terlihat di foto.
 
Di sisi lain, koleksi batuan alam juga menarik, terutama yang berupa kristal. Jika pengelola museum pandai sedikit, ia bisa mengkaryakan seniman (atau pengrajin, siapa pun) untuk membuat perhiasan (aksesoris) dari batuan-batuan tersebut (dengan rancangan khas dan unik tentunya) dan menjualnya sebagai cinderamata. Jelas pangsa pasarnya tentu adalah kaum perempuan. Hasil penjualan bisa dimanfaatkan untuk pengelolaan museum dan penambahan serta perawatan koleksi.

Di bagian pintu masuk tempat terdapat dua tangga menuju lantai 1, akan lebih jika dibuatkan  semacam pusat informasi dan mungkin toko cinderamata untuk menjual benda-benda yang berkaitan dengan koleksi museum. Jika di museum filateli bisa dibeli perangko, maka di Museum Geologi mungkin pengunjung bisa membeli miniatur T-Rex atau buku tentang kehidupan pra-sejarah di Indonesia.

Ini hanyalah sedikit ide untuk mengangkat (membuat lebih menarik) kekayaan yang sudah ada (dimiliki). Semoga ide ini suatu hari bisa diwujudkan demi pendidikan dan ilmu pengetahuan. Untuk mewujudkan ide ini diperlukan kerjasama antara arsitek, arkeolog dan perancang interior. Hal ini diperlukan karena di Indonesia belum dikenal ilmu yang bernama museografi sehingga profesi museolog (pengurus dan pengatur museum) juga belum dikenal.



Jumat, 21 Mei 2010

Tentang saujana budaya - sebuah perkenalan

Konsep saujana budaya adalah konsep konservasi secara menyeluruh yang diajukan UNESCO pada tahun 1990an. Konsep konservasi ini melihat satu kawasan dan penghuni (asli)nya sebagai unsur penting dalam manajemen konservasi area yang dilestarikan.

Dalam bahasa Inggris, Saujana Budaya dikenal dengan Cultural Landscape. Banyak orang salah mengartikan Cultural Landscape dengan pertamanan atau di Indonesia lebih populer dengan sebutan Lanskap.1

Menurut konvensi UNESCO, terdapat tiga tipe Saujana Budaya:
1. the clearly defined landscape designed and created intentionally by man. This embraces garden and parkland landscapes constructed for aesthetic reasons which are often (but not always) associated with religious or other monumental buildings and ensembles. Bentang alam yang memang sengaja dibuat oleh manusia yang wujudnya bisa berupa taman, kebun yang dirancang untuk alasan estetis dan dikaitkan dengan kesatuan keagamaan atau bangunan monumental lainnya.
2. The second category is the organically evolved landscape. This results from an initial social, economic, administrative, and/or religious imperative and has developed its present form by association with and in response to its natural environment. Such landscapes reflect that process of evolution in their form and component features. Bentang alam yang berevolusi secara organik, maksudnya adalah bentang alam yang telah terbentuk secara karena aktivitas manusia yang berkelanjutan dan menunjukkan perubahan yang berlangsung secara perlahan.
They fall into two sub-categories:
a) a relict (or fossil) landscape is one in which an evolutionary process came to an end at some time in the past, either abruptly or over a period. Its significant distinguishing features are, however, still visible in material form. Bentang relik yang menunjukkan proses perubahan dan berakhir pada suatu masa di masa lalu. Sederhananya bentang ini diwakili wujudnya oleh peninggalan situs arkeologi di kawasan yang bersangkutan.
b) continuing landscape is one which retains an active social role in contemporary society closely associated with the traditional way of life, and in which the evolutionary process is still in progress. At the same time it exhibits significant material evidence of its evolution over time. Bentang alam berkelanjutan adalah bentang alam yang mengandung kegiatan sosial aktif yang berkaitan dengan pola hidup tradisional dan proses perkembangan/perubahan masih berlangsung. Contohnya adalah kawasan pertanian yang bisa disebut sebagai bentang alam yang bisa 'dibaca' sejarahnya.
3. The final category is the associative cultural landscape. The inclusion of such landscapes on the World Heritage List is justifiable by virtue of the powerful religious, artistic or cultural associations of the natural element rather than material cultural evidence, which may be insignificant or even absent.
Kategori ini hanya melihat asosiasi suatu elemen alam terhadap aktivitas keagamaan atau budaya di kawasan tersebut. Misalnya gunung Meru yang dianggap sakral oleh pemeluk Hindu, maka gunung tersebut dianggap sebagai saujana budaya.

Negara yang memiliki kawasan saujana budaya terbanyak yang diakui UNESCO adalah Italia dengan Costiera Amalfitana, Cilento & Valo di Diano, Sacri Monti, Val d'Orcia, Cinque Terre. Italia tahu betul bahwa sumber kekayaan mereka adalah peninggalan sejarah, maka mereka bergerak sangat cepat dalam perihal pelestarian benda (dan tempat) cagar budaya.

Bagaimana dengan Indonesia?

1 Disadur dari catatan Facebook dan blog saya di Multiply


Minggu, 16 Mei 2010

Prambanan harus 'abadi'

Pernah melihat simbol ini di suatu tempat?
Ini adalah simbol dari penerapan dari The Hague Convention 1954 untuk melindungi warisan budaya dalam konflik bersenjata.

Dengan dipasangnya simbol ini pada suatu benda cagar budaya, maka benda cagar budaya tersebut dilindungi secara internasional dari kerusakan disengaja oleh manusia. Dalam keadaan apapun benda cagar budaya yang memiliki logo ini dilarang untuk dirusak apalagi dihancurkan.

Di Indonesia, benda cagar budaya yang memiliki simbol ini adalah kompleks Candi Prambanan. Dengannya kompleks Candi Prambanan memiliki status istimewa sebaga cagar budaya yang harus selalu dilestarikan demi kemanusiaan.

Sepengetahuan saya hanya kompleks Candi Prambanan lah yang memiliki simbol ini, sementara situs cagar budaya lain yang terdaftar di UNESCO - Borobudur dan Sangiran - tidak memilikinya.

Sejauh ini Indonesia memiliki tujuh warisan budaya dan alami yang tercatat dalam daftar World Heritage milik UNESCO. Tiga masuk ke dalam kategori budaya (Prambanan, Borobudur, Sangiran) dan empat dalam kategori alami (Taman Nasional Komodo, TN Ujung Kulon, TN Lorentz, Hutan hujan tropis Sumatra).Sejauh ini pula Candi Borobudur lah yang terkenal seantero dunia. Dalam setiap pameran Cagar Budaya Dunia, hampir bisa dipastikan kehadiran Candi Borobudur, sedangkan dua situs budaya lainnya absen. Padahal jika memperhatikan perlindungan khusus yang dimiliki masing-masing cagar budaya tadi, maka Prambanan sebetulnya lebih istimewa daripada yang lain.

Saya belum menemukan keterangan lengkap tentang dasar pemilihan suatu benda cagar budaya sehingga ia bisa diberi status khusus dari penerapan konvensi ini. Akan tetapi, para ahli sejarah, arkeolog, dan arsitek (terutama sejarawan arsitektur) internasional tentu harus memiliki alasan kuat dan tidak sembarangan menetapkan suatu benda cagar budaya sebagai karya kebudayaan yang harus abadi demi kemanusiaan.




Minggu, 09 Mei 2010

My Zeil

Jerman memang laboratorium arsitektur modern. Berada di jantung kota Frankfurt, di kawasan perbelanjaan Konstablerwache, pusat perbelanjaan ini dirancang oleh arsitek Italia Massimiliano Fuksas dan dibuka secara resmi pada 26 Februari 2009 lalu.
Di luar My Zeil adalah kawasan pedestrian shopping mall The Zeil yang lengkap dengan ruang hijau di antaranya. Arsitek Jürgen Engel mereferensi pada konsep live-cell therapy yang ditujukan pada kawasan the Zeil sebagai “menciptaan ruang untuk mendapatkan pengalaman keurbanan”.
Dari jauh bangunan komersial ini tampak tidak terlalu istimewa, seperti bangunan transparan biasa, kecuali lubang yang memilin di tengahnya. Lubang itulah yang membuat  penasaran pejalan kaki sehingga memutuskan masuk untuk melihat interiornya.
Struktur My Zeil memang istimewa. Bangunan ini termasuk berlanggam dekonstruksi. Lubang yang muncul di bagian muka memilin seperti angin puting beliung. Struktur kulitnya (shell) pun mengikuti bentuk itu hingga ke bagian dalam. Kulit ini, yang dibuat dengan sistem curtain wall, menjadi façade dan atap gedung. Uniknya, bangunan dekonstruksi ini bisa berpadu dengan bangunan lain yang mengapit di kiri-kanannya. Ia tidak berdiri sendiri seperti kebanyakan bangunan berlanggam sama.
Saya teringat dengan pekerjaan membuat gambar kerja arsitektur. Meskipun tingkat kerumitan bangunannya tidak seperti My Zeil, tapi pekerjaan itu cukup membuat kepala pusing. Tak terbayang seandainya saya diminta membuat gambar kerja untuk struktur ini.
Lubang itu seperti kulit tampak yang ditarik ke belakang membentuk tabung kerucut di bagian interior. Cobalah cubit permukaan kain pakaian, kemudian pilin, tarik ke arah belakang bawah. Seperti itulah bentuk lubang tabung pada facade My Zeil. Tabung tersebut sebetulnya tidak memiliki fungsi apa-apa selain fungsi estetis dan benda itu hanya menjadi penampung salju yang turun dengan derasnya.
Jika bangunan ini dibuat di Indonesia mungkin akan menuai protes dari para ahli struktur dan konstruksi. Karena selain lubang tersebut tak berguna, juga hanya menambah kesulitan dalam perawatan bangunan. Salju yang turun ke dalam tabung dan tertampung tentunya harus dibuang dan struktur tabung pun harus cukup kuat menahan beban salju yang menimpanya. Itu artinya material bangunan yang 90% berupa kaca pun harus dipilih dan diperhitungkan kekuatannya dengan baik.
Penggunaan bahan kaca di kulit  My Zeil dapat memaksimalkan masuknya cahaya siang hari ke bagian dalam. Pemakaian bahan transparan juga menciptakan nuansa lapang, luas, terbuka pada bagian interior yang terdiri dari atrium berlantai delapan.
Desain interiornya sangat menarik dan tidak membosankan. Setiap titik memberikan pemandangan yang berlainan. Lubang-lubang untuk tangga berjalan dibuat dengan bentuk bukaan berbeda-beda. Tangga berjalan yang dipilih pun menggunakan sistem berdiri bebas (free standing escalator), artinya tangga-tangga berjalan itu memiliki struktur penopangnya sendiri bebas dari bangunan. Tentu hal ini, di Indonesia, kembali akan (mungkin) menuai protes para insinyur sipil. "Bikin bangunan kok ribet amat sih, kan susah ngitunganya! Dasar arsitek".


Klik judul untuk melihat foto di laman blog saya yang lain.