Minggu, 11 Maret 2012

Refleksi Pelatihan Madya

Tanggal 10-11 Februari lalu saya mengikuti pelatihan advokasi warisan budaya yang dikoordinir oleh MADYA atau Masyarakat Advokasi (Warisan) Budaya. Saya datang untuk memenuhi undangan kawan sesama pelestari, yang kebetulan juga merupakan koordinator LSM tersebut, dan untuk mewakili LSM tempat saya bernaung. Saya dan koordinator MADYA bertemu pertama kali di Bandung pada awal tahun 2011 di Kedai Kopi Mata Angin (tidak bermaksud untuk promosi). Sebetulnya perkenalan kami sudah dimulai sejak lama, sejak dibentuknya MADYA untuk pertama kali dan kontak kami berlanjut hingga saat ini. 

Berbagai persoalan terkait warisan budaya dan pelestariannya dibahas dalam pelatihan tersebut. Sorotan utama adalah pada proses advokasi. Awalnya diskusi dan pemaparan berfokus di ranah hukum, meskipun demikian, pada akhirnya disepakati bahwa proses advokasi meliputi semua kegiatan yang bertujuan untuk melestarikan warisan budaya. Tanpa melihat bentuk tindakan yang dilakukan (tentunya tidak termasuk tindakan makar).

Dari beberapa kasus yang mencuat dalam diskusi, tampak bahwa kebanyakan pelestari mengambil langkah dan metoda akar rumput, tetapi melupakan lobi di tingkat eksekutif. Dengan demikian berbagai proses advokasi yang terjadi menjadi kegiatan perlawanan dan kontra eksekutif. Hal yang sebetulnya wajar dilakukan berbagai LSM. Kisah dengan warna sedikit berbeda sebetulnya telah dilakoni oleh Bandung Heritage ketika mereka bersikap ekslusif dan menempatkan diri pada strata eksekutif meskipun tetap pada posisi berlawanan. Yang pada akhirnya ekslusivitas ini menjadi wajah dan citra organisasi, sehingga membuat masyarakat akar rumput merasa perlu menggantungkan diri pada organisasi ini untuk berbagai permasalahan yangterkait dengan warisan budaya dan cagar budaya. Tampaknya sikap ideal adalah dengan melakukan kontak intensif di kedua sisi eksekutif dan akar rumput.

Hal yang cukup menarik perhatian saya adalah ide untuk menjadi pelestari cerdas. Ide tersebut dilontarkan salah seorang peserta, yang saya lupa namanya. Peserta ini mencontohkan bahwa dalam pelestarian warisan budaya, kita berkejaran dengan waktu. Hal yang sangat benar adanya. Ketika kita sibuk melakukan lobi di berbagai tingkatan, secara legal ataupun ilegal, ada pihak-pihak yang secara sadar melakukan aksi untuk menghabisi warisan budaya tersebut. Sehingga ketika pada akhirnya lobi berhasil dan kesepakatan diperoleh, warisan budaya tadi mungkin sudah hilang tanpa sisa. Oleh karena itu, perilaku cerdas perlu diakukan. Misalnya seperti kasus penyelamatan Mount Builder suku Indian di Amerika Serikat. Untuk menggolkan upaya mereka dalam menyelamatkan situs tersebut, LSM setempat berlomba dengan investor. Pada akhirnya salah satu upaya mereka membuahkan hasil. Mereka mengundang investor lain yang mau berinvestasi di situs tersebut. Investor yang diundang untuk menandingi investor pemerintah adalah pengembang lapangan golf. Upaya tersebut berhasil baik. Lapangan golf terbangun dan situs Mount Builder tetap lestari. 


Sekarang, bagaimana kita menyiasati hal serupa di Indonesia? Di sinilah kreativitas kita diuji. Saya secara pribadi belum berbuat banyak terhadap warisan budaya, baru sebatas tahap pencarian dan pencatatan. Ide-ide yang telah dikembangkan bersama kawan-kawan pelestari di Bandung belum menghasilkan apapun dikarenakan kesibukan masing-masing. Mungkin hal paling sederhana yang bisa dilakukan saat ini adalah dengan menulis. Dengan harapan tulisan ini dapat menginspirasi dan mengawali sesuatu yang lebih besar. 

Berikut adalah tautan sebuah tulisan mengenai pelatihan ini yang ditulis oleh peserta asal Solo.

Salam pelestarian!