Senin, 29 November 2010

Antara Bandung dan Weltevreden, Belanda gagal memindahkan ibukota, benarkah?

Pagi ini saya mengikuti sebuah kuliah umum oleh seorang sejarawan arsitektur dari TU Delft, Belanda. Nama pembicara adalah Pauline van Roosmalen. Beliau menyampaikan paparan disertasinya mengenai sejarah rancang kota (atau dalam bahasa Inggris populer dengan nama Town Planning) di Dutch East Indies (DEI) dan Indonesia. Rentang periode yang diambil adalah 1905-1951.

Dari hasil kajiannya mengenai sejarah rancang kota di Nusantara, pada akhir sesi, saat menjawab satu pertanyaan yang berkaitan dengan konservasi, van Roosmalen menyatakan bahwa upaya konservasi adalah sebuah kegiatan yang kompleks karena menyangkut berbagai lapisan urban. Kemudian ia juga menyampaikan, sebagai contoh (untuk jawaban dari pertanyaan yang lain) bahwa pemerintah Hindia Belanda telah gagal dalam memindahkan ibukota dari Weltevreden ke Bandung. 



Namun benarkah upaya itu gagal? Apa sebenarnya yang menyebabkan kegagalannya? Mari kita lihat sama-sama.

Jadi, keinginan pimpinan DEI untuk pindah ke Bandung sudah ada sejak tahun 1825. Saat itu Bandung masih merupakan kampung atau desa dengan jumlah penduduk yang bisa dihitung dengan jari yang kemudian berkembang dengan puat kota model Jawa lengkap dengan alun-alunnya. Kemudian jalan pos dibangun, menyusul kemudian rel kereta api. 

Perencanaan Bandung yang sesungguhnya baru dimulai pada tahun 1917 dengan rancangan perluasan kota yang dibuat oleh F.J.L. Ghijsels. Dalam rancangan ini, oleh karena pemerintah DEI merencanakan Bandung sebagai pusat pemerintahan yang baru, maka rancangan kota pun dilengkapi dengan berbagai fasilitas pendukung seperti pusat komando militer. Kota Bandung bahkan dilengkapi dengan area pendidikan tinggi sebagai salah satu penerapan politik etis yang berlaku saat itu. Bandung, menurut van Roosmalen, memiliki rancangan kota paling menyeluruh dibanding rancangan kota-kota lain karya pemerintah Belanda di Indonesia.

 
Peta Bandung Lama

Rancangan perluasan Bandung di utara pusat kota lama memiliki luasan lebih besar dibanding pusat kota lama beralun-alun di selatan kota. Pada tahun 1929 rancangan kota Bandung diperbarui oleh G. Hendriks. Namun sayang, rancangan ini tak bisa dilaksanakan karena krisis yang melanda dunia ketika itu. Tahun 1938, penambahan rancangan kembali dilakukan. Kembali, nasib malang menimpa DEI, empat tahun kemudian perang dunia ke-2 pecah dan rencana pemindahan ibukota ke Bandung ditunda untuk waktu yang tidak ditentukan.

Proses perancangan dan pembangunan sebuah kota adalah proses panjang yang memakan waktu bertahun-tahun. Pemerintah DEI merancang Bandung dari nol, dari lahan kosong yang tidak berpenghuni (berpenghuni sedikit). Ketika pembangunan dimulai, maka warga pun mulai berdatangan karena tertarik dengan kota baru yang menawarkan berbagai fasilitas dan nilai-nilai lebih seperti udara yang lebih sehat dan segar. Kota hasil rancangan di atas kertas secara bertahap dibangun menyesuaikan dengan kondisi (sosial, politik, keuangan) saat pembangunan berlangsung. Penyesuaian-penyesuaian rancangan sudah tentu tak bisa dihindari. Bahkan penundaan pembangunan karena keterbatasan dana bukanlah hal aneh.

Krisis keuangan yang menimpa dunia tahun 1929, dikenal juga sebagai Wallstreet crash benar-benar memukul perekonomian dunia, tak terkecuali DEI. Proses pembangunan terhambat, pemulihan ekonomi pun tak berjalan instan. Tidak mengherankan jika rencana pemindahan ibukota pun tertunda.

Sepuluh tahun kemudian, perang pecah di Eropa, disusul pecahnya perang di Asia yang mengakibatkan PD II dua tahun kemudian. Dalam keadaan seperti ini, kondisi negara yang belum pulih 100% dari krisis keuangan global, diikuti peperangan yang menghancurkan, sangat tidak mungkin bagi negara manapun untuk memindahkan pusat pemerintahan. Konsentrasi dipusatkan pada pertahanan wilayah. Meskipun demikian, DEI akhirnya jatuh ke tangan Jepang pada tahun 1942.

Tahun 1945, Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya, pemerintahan DEI dinyatakan berakhir oleh pemimpin Indonesia. Hal ini diikuti dengan periode lanjutan yang dikenal sebagai periode Bersiap. Periode ini berlangsung antara 1945-1950. Ketika itu, seluruh warga Eropa dan keturunan Eropa dipaksa keluar dari Indonesia. Tahun 1957 hampir semua warga Eropa dan keturunan Eropa keluar dari Indonesia. Masa-masa tersebut merupakan masa kritis di mana masih terjadi peperangan antara Indonesia dan Belanda. Proses pembangunan dan rehabilitasi pasca perang hampir tidak mungkin dilakukan kecuali di beberapa daerah yang relatif aman.

Dapat kita lihat bahwa proses persiapan Bandung untuk menjadi pusat pemerintahan menggantikan Weltevreden bisa dikatakan dimulai tahun 1917. Hingga terjadinya krisis keuangan, proses persiapan dan pembangunan telah berjalan lebih kurang 10 tahun, masa yang sangat singkat untuk pembangunan sebuah kota. Masa-masa berikutnya bisa dikatakan proses pembangunan terhenti karena krisis dan perang. kegagalan memindahkan pusat pemerintahan bukan dikarenakan faktor internal, melainkan oleh sebab eksternal. Dengan kata lain, gagalnya pemindahan pusat kota ini adalah karena adanya force majeur yang tidak bisa dihindari dan tidak mungkin diantisipasi. Hal ini bisa diibaratkan seperti proses membangun rumah yang gagal karena badai besar yang datang mendadak.

Jadi, pemerintah DEI sebetulnya tidak bisa dikatakan telah gagal dalam upaya memindahkan pusat pemerintahan DEI dari Weltevreden ke Bandung karena proses pembangunan kota bukanlah hal yang bisa dilakuan dalam waktu singkat. Kondisi sosial politik ekonomi yang stabil adalah prasyarat dalam pembangunan sebuah kota baru. Waktu yang diperlukan pun tidak sedikit karena kondisi sosial politik ekonomi tadi tidaklah stagnan, tetapi dinamis dan selalu berubah. Jika perubahan itu masih dalam batas normal, maka pemerintah DEI bisa jadi akan berhasil dalam upaya pemindahan pusat pemerintahan tersebut. Namun force majeur  yang terjadi tanpa terduga dengan level kerusakan tinggi pastilah menghambat upaya itu. Malah akan sangat ajaib jika pemerintah DEI berhasil pindah dari Weltevreden ke Bandung dalam kondisi negara yang kritis.

Keterangan tambahan:
Jakarta terdiri dari kumpulan kota-kota kecil buatan Belanda. Kota pertama adalah Batavia. Kemudian di arah Selatan Batavia dibangun kota baru bernama Weltevreden (masih Jakarta). Menyusul kemudian Menteng. 
Awal pemerintahan di Maluku yang kemudian dipindahkan ke Batavia. Oleh karena kondisi sanitasi Batavia buruk, maka pemerintahan kemudian dipindahkan ke Weltevreden. Dari Weltevreden inilah kemudian muncul rencana pemindahan pemerintahan ke Bandung.


Minggu, 21 November 2010

Kabale und Liebe

Enaknya tinggal di Eropa, pelajar mendapat keistimewaan terutama dalam hal pemberian tarif khusus untuk berbagai fasilitas umum. Di antara fasilitas umum yang bisa dinikmati pelajar dengan harga khusus, alias dapat diskon, di antaranya adalah museum, transportasi umum, tempat wisata bersejarah, dan teater.

Musim dingin itu, diiringi rasa lelah dan malas, juga sedikit bt karena kejadian siang harinya, saya menyeret kaki menuju Staatstheater kota Stuttgart. Bersama beberapa kawan saya menonton pertunjukkan teater.  Kami mengantri karcis menjelang pukul 18, karena pada saat itu biasanya ada beberapa pengunjung yang membatalkan rencana sehingga karcis bangku mereka dijual dengan harga sangat miring, hanya 7 euro saja.  Pertunjukkan baru mulai pukul 19.30. 


Pertunjukkan yang saya ikuti berjudul Kabale und Liebe (intrik dan cinta). Kisah roman mirip Romeo dan Juliet versi Jerman yang ditulis oleh Friedrich Schiller, seorang sastrawan Jerman dari abad ke-18. Kabale und Liebe mengisahkan Ferdinand von Walter, anak bangsawan, yang jatuh cinta pada Luise Miller, putri seorang musisi kelas menengah. Hubungan mereka ditentang orang tua masing-masing dan mereka diminta untuk mengakhiri hubungan tersebut. Ferdinand direncanakan untuk dijodohkan dengan Lady Milford, gundik sang ayah. Si Lady sih suka-suka saja dengan Ferdinand, tapi Ferdinand cuma cinta Luise. Akhirnya Ferdinand pun berontak dan ngajak Luise kabur.


Rencana Ferdinand dijegal ayahnya. Bersama sekretarisnya, Wurm, yang juga saingan Ferdinand, sang ayah menahan orang tua Luise. Luise dipaksa membuat surat yang harus dia tanda tangani berupa surat cinta yang menyatakan bahwa ia hanya akan dapat membebaskan orang tuanya dengan kematiannya dan sumpah pada Tuhan bahwa dia menulis surat itu atas kehendaknya sendiri, meski pada kenyataanya dia dipaksa menulis dan bersumpah. Surat itu dibocorkan pada Ferdinand. Ferdinand pun marah dan putus asa dalam kecemburuan.

Luise yang sudah terjebak dalam sumpah palsu tak punya cara lain untuk membebaskan dirinya selain dengan kematian. Luise pun sekarat di hadapan Ferdinand dan mengembalikan kasih mereka. Ferdinand pun, setelah menyadari kebenaran yang terjadi, memutuskan untuk mengakhiri hidupnya bersama Luise.

Cerita cinta dan intrik ini sekilas mirip dengan Romeo dan Juliet. Perbedaanya hanya terletak pada posisi dua keluarga tokoh yang terlibat. Dalam kisah Romeo dan Juliet, keduanya berasal dari keluarga bangsawan yang saling bermusuhan. Sementara dalam Kabale und Liebe, kedua tokoh dipisahkan oleh stratifikasi sosial. Stratifikasi inilah yang menjadi akar intrik dan permasalahan yang melatarbelakangi kehidupan pada abad ke-18. Hal ini pulalah yang disorot Schiller dalam karyanya. Schiller memposisikan karya panggungnya untuk memperlihatkan perjuangan individu melawan tekanan sosial, agama dan moral di masa itu.

Pertunjukkan berlangsung dalam bahasa Jerman dengan menggunakan bahasa sastra. Dari sekira 2-3 jam pertunjukkan, hanya 20% isi percakapan bisa saya tangkap. Sisanya saya coba mengartikan dari akting para pemain. Alhasil, hingga akhir acara, saya tak juga mendapat inti cerita. Saya baru mengerti setelah mencari keterangan tentang karya ini setelah pertunjukkan usai. Namun, pengalaman menonton teater di Jerman memberikan kesan tersendiri bagi saya.