Jumat, 25 Februari 2011

Dago Car Free Hours

Ia duduk sendiri memandangi orang-orang yang lalu lalang. Senyumnya terurai ketika ada orang menghampiri barang yang dipajangnya. Namun ia tampak ragu untuk menawarkannya. Boneka-boneka kertas terdiam menanti pembeli. Sang kakek menatap keramaian, terlena suasana.

Ruang terbuka kota
Itulah satu pemandangan yang bisa ditemukan di Dago Car Free Day atau lebih tepatnya Dago Car Free Hours, karena hanya beberapa jam saja ruas jalan Dago bebas dari kendaraan bermotor. 

Keberadaan program Dago car free day telah menjadi pelepas rindu masyarakat kota terhadap ruang publik dengan akses tapa batas. Kesuksesan program ini semakin meningkat sejak pertama kali dicanangkan 9 Mei 2010 dengan positifnya apresiasi masyarakat terhadapnya hingga pemerintah kota pun berencana untuk menambah panjang ruas jalan yang akan dibebaskan dari kendaraan setiap hari minggu pagi (PR 19/12/2010). Tingginya animo masyarakat dalam memanfaatkan jalan Dago sebagai ruang beraktivitas bebas dan berekspresi merupakan bukti kerinduan warga kota akan kehadiran ruang publik kota dengan akses tanpa batas.
Bandung telah tumbuh tak terkendali tanpa rencana hampir menyerupai Jakarta dengan hanya berorientasi pada pembangunan fisik seperti mal dan perumahan (kecuali perbaikan jalan), dan orientasi ekonomi tanpa memperhatikan kebutuhan warga kota yang lebih bersifat tak-berwujud – ekspresi. Terlebih lagi dengan embel-embel (trademark) “kota kreatif”, kehadiran ruang publik  tanpa pagar menjadi hal yang sangat penting keberadaaannya untuk mendukung proses kreatif yang terus bertumbuh. Hanya di ruang publik dengan akses tanpa bataslah warga kota dapat bebas berinteraksi sosial secara santai tanpa terbedakan strata ekonomi yang semakin senjang. Di ruang publik tanpa batas pulalah semua lapisan masyarakat dapat berekspresi dan berkreasi. Namun tentunya perlu diperhatikan faktor keamanan dan disiplin saling menghargai dari warga kota dalam memanfaatkan ruang publik tanpa batas secara bersama-sama.
Dago car free day mengobati kerinduan warga akan ruang terbuka publik untuk beraktivitas setelah alun-alun berubah fungsi dan gasibu dipenuhi pedagang, serta berpindahnya aktivitas rekreasi ke dalam ruangan dalam rupa mal dan berbagai pusat perbelanjaan yang sangat konsumtif. Kehadiran Dago car free day tidak hanya dimanfaatkan warga untuk berolahraga atau sekedar jalan-jalan, tetapi juga dimanfaatkan untuk berbagai aktivitas komunal lainnya seperti pertunjukan seni, bahkan juga untuk sekedar melepas kebosanan dari dalam ruangan.

Pembenahan ruang kota dan kenyamanan psikologis warga kota
Mengutip hasil studi D.K. Halim dalam bukunya Psikologi Lingkungan Perkotaan (2008), sudah saatnya pemerintah membenahi kota yang (sudah) mulai semrawut sebelum warganya menjadi ‘gila’ secara masal. Kegilaan masal rentan tumbuh dengan bertambahnya kepadatan kota dan berkurangnya ruang-ruang aktivitas luar ruangan. Kegilaan yang dimaksud tampak dari semakin tinginya tingkat kriminalitas dan semakin padatnya jalanan oleh kendaraan bermotor dan pengemudi ugal-ugalan, serta didukung buruknya kualitas berbagai fasilitas umum seperti jalan raya yang nyaris tanpa trotoar, transportasi publik yang rendah tingkat keamanan dan kenyamananannya, dan kurangnya kontak sosial antar warga kota.
Program-program pembenahan yang sedang direncanakan seperti penertiban PKL gasibu di hari minggu, akan ditambahnya ruas car free day, pembenahan Cikapundung, serta penertiban kendaraan dengan dibuatnya ruang henti khusus kendaraan roda dua, juga rencana pembebasan beberapa ruas jalan dari parkir di badan jalan patut mendapat apresiasi yang baik. Sudah selayaknya sebuah kota dibuat untuk manusia, bukan untuk kendaraan bermotor. Akan tetapi, tentu semua keputusan itu harus disertai solusi terhadap permasalahan yang muncul kemudian, misalnya, penyediaan tempat parkir yang memadai di tempat-tempat tertentu atau tempat alternatif bagi pedagang atau pembenahan PKL dengan mengusung konsep tertentu sehingga bisa menjadi daya tarik kota. Hal terpenting adalah bahwa program-program tersebut harus berorientasi pada manusia penghuni kota, bukan berorientasi ekonomi atau pariwisata. Dua hal terakhir akan mengikuti ketika kota dan manusianya sehat.
Tak harus menciptakan ruang-ruang baru untuk memenuhi dahaga warga akan ruang hidup yang memberikan kenyamanan psikologis, cukup pembenahan terpadu ruang-ruang yang ada Hal yang tidak mudah, namun sangat mungkin dilaksanakan dengan banyaknya para ahli tata kota dan perencanaan-perancangan di kota Bandung untuk mengoptimalkan fungsi ruang-ruang kota yang belum dimanfaatkan dengan baik. Kerjasama antara pemerintah kota dengan para ahli perencanaan kota mutlak diperlukan untuk mengakomodasi kebutuhan dasar warga kota demi terjaganya kota dengan masyarakat yang sehat jasmani dan rohaninya. 

Kakek penjual boneka kertas ternyata hanya ingin melepas rasa lelah dan bosan karena berada di rumah sepanjang minggu. Ia hanya menikmati suasana ruang luar di hari minggu pagi yang cerah, menyaksikan orang-orang muda berlalu lalang dengan berbagai kegiatan. Ia hanya menikmati semilir angin di bawah pohon kecil yang meneduhinya. Ketika jam bebas kendaraan bermotor pun akhirnya usai, ia segera membereskan barang bawaannya, duduk sebentar dan berbincang dengan sesama pengunjung car free day. Senyumnya mengembang. Beberapa kisah singkat hidupnya ia sampaikan. Tak lama berselang, ia pun pulang ke rumahnya setelah memberikan cenderamata pada pengunjung yang mengobrol bersamanya. Satu boneka kertas saya bawa pulang sebagai oleh-oleh dari car free day di satu hari minggu.

Selasa, 15 Februari 2011

Imlek di Kelenteng Samudera Bakti

Imlek memang telah lewat agak lama tanggal 3 Februari lalu, tetapi tak apa-apa kan, toh sebentar lagi Cap Go Meh. Jadi, silahkan membaca!

Tanggal 3 Februari, di hari imlek, saya dan seorang teman mengunjungi Kelenteng Samudera Bhakti di jalan Kelenteng, Bandung. Saya tiba sekitar pukul 10 pagi. Agak deg-degan juga sebetulnya, karena saya tidak tahu apakah kami akan diijinkan melihat aktivitas yang sedang berlangsung atau tidak. Maklum, kali pertama ke kelenteng hehe. Ternyata kami tidak sendiri. Di kelenteng banyak juga orang-orang seperti kami yang hanya ingin berkunjung melihat-lihat.


Dilindungi undang-undang
Kelenteng Samudera Bhakti ini merupakan kelenteng pertama di Bandung dan berlokasi di kawasan (distrik) Pecinan lama. Ketika Orde Baru berkuasa, semua kelenteng di Indonesia berubah nama menjadi vihara Buddha. Termasuk juga kelenteng Samudera Bhakti ini, dulu sempat dikenal sebagai Vihara Samudera Bhakti dan berada dalam kepengurusan yayasan Satya Budhi.

Mungkin belum banyak yang tahu bahwa kelenteng ini dilindungi Perda no. 19 tahun 2009 tentang Pengelolaan Kawasan dan Bangunan Cagar Budaya di kota Bandung. Kelenteng ini termasuk dalam daftar utama 100 cagar budaya arsitektur yang dilindungi Perda tersebut. Sehingga kegiatan apapun yang bersifat mengubah esensi bentuk arsitektural dari kompleks ini merupakan tindakan kriminal pelanggaran terhadap Perda yang berlaku. Pada malam tanggal 2 Februari, Paguyuban Pelestarian Budaya Bandung mampir ke kelenteng ini untuk memberikan penghargaan cagar budaya atas kelestarian arsitektur kelenteng yang terjaga dengan baik.

Kehadiran Perda tersebut di atas sebetulnya juga sejalan dengan UU no. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Hanya sayang, kedua peraturan tersebut seakan dibuat agak tergesa-gesa sehingga masih banyak ketidaksempurnaan dalam melindungi cagar budaya. Bagaimanapun, kehadiran peraturan lebih baik daripada tidak ada sama sekali kan?


Suasana
Saat saya tiba, suasana kelenteng cukup ramai oleh orang-orang yang hendak, sedang dan sudah bersembahyang. Untungnya mereka tidak keberatan dengan kehadiran kami. Mungkin sebetulnya agak terganggu sih, tapi mereka cukup baik dengan membiarkan kami berburu foto di dalam kelenteng sementara mereka bersembahyang.

Orang-orang muda dan tua tampak khidmat bersembahyang di kelenteng. Nuansa merah mendominasi  suasana di kompleks kelenteng. Di dalam kelenteng terdapat beberapa ruangan untuk bersembahyang. Ada beberapa altar, beberapa tempat pembakaran uang kertas persembahan. Saya temui juga lilin-lilin raksasa seukuran manusia yang masih terbakar di taman dalam sisa perayaan di malam hari. 

Sesaji tertata rapi di altar, terdiri dari bungkusan dodol keranjang, buah dan beberapa jenis makanan. Asap dan aroma hio memenuhi seluruh ruangan. Gepeng-gepeng pun tak mau kalah. Mereka berkumpul mencari rejeki di sekitar kelenteng.

Gerbang ke kompleks kelenteng terletak di jalan Kelenteng. Pintu gerbang besar berwarna merah tersebut membuka dan membawa  pengunjung memasuki pelataran. Di sisi utara pelataran tersebut terdapat ruangan besar dimana di ujungnya dapat ditemui satu altar. Sementara di sisi barat pelataran, terdapat pintu pagar pendek yang memisahkan pelataran dengan halaman tempat terdapatnya satu tempat pembakaran dan pintu menuju altar tengah. Lambang swastika menghiasi jendela-jendela bundar di fasad kelenteng yang dibangun dengan rancangan arsitektur China. Patung naga dan bola api menghiasi puncak atapnya. 

Sesaat berada di dalam kelenteng berasa berada di negeri lain. Setelah bosan dengan berbagai gereja dan katedral di Eropa, akhirnya saya mengunjungi satu per satu warisan budaya nusantara. Kelenteng, seperti juga gereja dan masjid merupakan living religious heritage atau pusaka budaya yang hidup karena masih dan akan terus dipergunakan umat beragama untuk beribadah di dalamnya. 
Sungguh Indonesia adalah negeri majemuk. Mungkin hanya di Indonesia banyak terdapat libur nasional untuk menghormati hari besar keagamaan. Meskipun masih ada kaum minoritas yang belum menikmati hari libur untuk merayakan hari keagamaannya, seperti masyarakat adat penganut aliran kepercayaan, tapi mungkin hanya Indonesia negara di dunia yang memberi kesempatan pada setiap penganut agama dan kepercayaan untuk merayakan hari besar keagamaan mereka.

Saya mengintip sedikit lagi kegiatan di dalam kelenteng melalui lubang kecil di pelataran sebelum meninggalkannya menjelang siang hari.