Selasa, 15 Februari 2011

Imlek di Kelenteng Samudera Bakti

Imlek memang telah lewat agak lama tanggal 3 Februari lalu, tetapi tak apa-apa kan, toh sebentar lagi Cap Go Meh. Jadi, silahkan membaca!

Tanggal 3 Februari, di hari imlek, saya dan seorang teman mengunjungi Kelenteng Samudera Bhakti di jalan Kelenteng, Bandung. Saya tiba sekitar pukul 10 pagi. Agak deg-degan juga sebetulnya, karena saya tidak tahu apakah kami akan diijinkan melihat aktivitas yang sedang berlangsung atau tidak. Maklum, kali pertama ke kelenteng hehe. Ternyata kami tidak sendiri. Di kelenteng banyak juga orang-orang seperti kami yang hanya ingin berkunjung melihat-lihat.


Dilindungi undang-undang
Kelenteng Samudera Bhakti ini merupakan kelenteng pertama di Bandung dan berlokasi di kawasan (distrik) Pecinan lama. Ketika Orde Baru berkuasa, semua kelenteng di Indonesia berubah nama menjadi vihara Buddha. Termasuk juga kelenteng Samudera Bhakti ini, dulu sempat dikenal sebagai Vihara Samudera Bhakti dan berada dalam kepengurusan yayasan Satya Budhi.

Mungkin belum banyak yang tahu bahwa kelenteng ini dilindungi Perda no. 19 tahun 2009 tentang Pengelolaan Kawasan dan Bangunan Cagar Budaya di kota Bandung. Kelenteng ini termasuk dalam daftar utama 100 cagar budaya arsitektur yang dilindungi Perda tersebut. Sehingga kegiatan apapun yang bersifat mengubah esensi bentuk arsitektural dari kompleks ini merupakan tindakan kriminal pelanggaran terhadap Perda yang berlaku. Pada malam tanggal 2 Februari, Paguyuban Pelestarian Budaya Bandung mampir ke kelenteng ini untuk memberikan penghargaan cagar budaya atas kelestarian arsitektur kelenteng yang terjaga dengan baik.

Kehadiran Perda tersebut di atas sebetulnya juga sejalan dengan UU no. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Hanya sayang, kedua peraturan tersebut seakan dibuat agak tergesa-gesa sehingga masih banyak ketidaksempurnaan dalam melindungi cagar budaya. Bagaimanapun, kehadiran peraturan lebih baik daripada tidak ada sama sekali kan?


Suasana
Saat saya tiba, suasana kelenteng cukup ramai oleh orang-orang yang hendak, sedang dan sudah bersembahyang. Untungnya mereka tidak keberatan dengan kehadiran kami. Mungkin sebetulnya agak terganggu sih, tapi mereka cukup baik dengan membiarkan kami berburu foto di dalam kelenteng sementara mereka bersembahyang.

Orang-orang muda dan tua tampak khidmat bersembahyang di kelenteng. Nuansa merah mendominasi  suasana di kompleks kelenteng. Di dalam kelenteng terdapat beberapa ruangan untuk bersembahyang. Ada beberapa altar, beberapa tempat pembakaran uang kertas persembahan. Saya temui juga lilin-lilin raksasa seukuran manusia yang masih terbakar di taman dalam sisa perayaan di malam hari. 

Sesaji tertata rapi di altar, terdiri dari bungkusan dodol keranjang, buah dan beberapa jenis makanan. Asap dan aroma hio memenuhi seluruh ruangan. Gepeng-gepeng pun tak mau kalah. Mereka berkumpul mencari rejeki di sekitar kelenteng.

Gerbang ke kompleks kelenteng terletak di jalan Kelenteng. Pintu gerbang besar berwarna merah tersebut membuka dan membawa  pengunjung memasuki pelataran. Di sisi utara pelataran tersebut terdapat ruangan besar dimana di ujungnya dapat ditemui satu altar. Sementara di sisi barat pelataran, terdapat pintu pagar pendek yang memisahkan pelataran dengan halaman tempat terdapatnya satu tempat pembakaran dan pintu menuju altar tengah. Lambang swastika menghiasi jendela-jendela bundar di fasad kelenteng yang dibangun dengan rancangan arsitektur China. Patung naga dan bola api menghiasi puncak atapnya. 

Sesaat berada di dalam kelenteng berasa berada di negeri lain. Setelah bosan dengan berbagai gereja dan katedral di Eropa, akhirnya saya mengunjungi satu per satu warisan budaya nusantara. Kelenteng, seperti juga gereja dan masjid merupakan living religious heritage atau pusaka budaya yang hidup karena masih dan akan terus dipergunakan umat beragama untuk beribadah di dalamnya. 
Sungguh Indonesia adalah negeri majemuk. Mungkin hanya di Indonesia banyak terdapat libur nasional untuk menghormati hari besar keagamaan. Meskipun masih ada kaum minoritas yang belum menikmati hari libur untuk merayakan hari keagamaannya, seperti masyarakat adat penganut aliran kepercayaan, tapi mungkin hanya Indonesia negara di dunia yang memberi kesempatan pada setiap penganut agama dan kepercayaan untuk merayakan hari besar keagamaan mereka.

Saya mengintip sedikit lagi kegiatan di dalam kelenteng melalui lubang kecil di pelataran sebelum meninggalkannya menjelang siang hari.

2 komentar:

  1. Silahkan bila mempunyai waktu main ke vihara kami lagi ^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih,dengan senang hati saya akan berkunjung lagi :)

      Hapus