Senin, 02 Januari 2012

Musikal Lutung Kasarung - ulasan pribadi

Saya sebetulnya ingin mengulas sejak beberapa hari yang lalu. Sayang, jaringan internet yang jelek menghambat. Maka inilah posting pertama saya di tahun 2012. 
 
Pohon langit Lengser dan Pohaci Ambu muncul untuk menceritakan sebuah legenda. Legenda yang sangat dikenal tentang perjalanan penghukuman dan pembebasan diri dari penghukuman lewat ketulusan dan kasih sayang. Kisah tentang pangeran langit yang dihukum turun ke bumi karena hanya bersedia menikah dengan wanita yang seperti ibunya, Sunan Ambu. Kisah yang membalikkan kenyataan antara si sulung yang biasanya paling banyak berkorban dengan si bungsu yang biasanya manja dan mau menang sendiri. 

Di bumi pergolakan tengah terjadi. Sang raja mangkat. Putri-putrinya yang berjumlah tujuh diperintahkan menjaga wasiatnya. Purbasari, putri termuda harus naik takhta. Purbararang, putri tertua memegang tampuk kekuasaan hingga si bungsu beranjak dewasa.  

Namun kekuasaan membutakan sang kakak. Ia pun mengupayakan berbagai cara untuk menyingkirkan sang adik. Jodoh memang tak akan ke mana. Putri kecil dikirim ke hutan dan akhirnya bertemu sang Lutung, jelmaan Guruminda. Lutung pun membantu putri kembali ke takhta. Dan ia pun, karena ketulusannya, dibebaskan dari hukuman untuk memimpin negeri bersama Purbasari.

Cerita dibalut sentuhan modern dengan sedikit nyepet-nyepet keadaan di negeri ini. Alunan musik, nyanyian dan tarian dalam musikal ini tertata apik diselingi nuansa etnik yang kental sungguh sangat menghibur. Diselingi humor-humor ringan dalam bahasa Sunda, teater musikal ini seharusnya menjadi tontonan rutin masyarakat. Duet jaipong tukang bubur dan istrinya betul-betul luar biasa, paporit pokona mah. Vokal para pemain pun sangat baik. Vokal terbaik favorit saya adalah Sunan Ambu dalam balutan kostum yang sangat indah dan megah. Ngomong-ngomong kostum, mahkota lutung mengingatkan saya pada Raja Julian Si Ekor Cincin dari Madagaskar hehe

Dengan harga tiket yang lumayan tinggi, agak sulit bagi masyarakat biasa bahkan untuk sekedar berpikir menyaksikan pertunjukan ini. Mungkinkah jika pertunjukan dibuat rutin harga tiket dapat diturunkan? Tapi kasihan juga para pemainnya.

Hal yang mengganjal dalam pertunjukan adalah penempatan panggung yang besar sehingga hampir memakan seluruh ruang Sabuga. Penonton kelas 2 nyaris tak dapat melihat apa-apa kecuali stager-stager. Untuk 150 ribu rupiah, hanya dapat melihat stager adalah hal yang sangat mengecewakan. 

Hal lain yang mengganggu adalah presentasi seluruh kru pendukung pertunjukan di akhir acara. Seluruh kru pendukung belakang layar ditampilkan satu per satu, sesuatu yang sebetulnya tidak terlalu penting. Mungkin maksudnya adalah untuk memberikan penghargaan pada tiap kru, tetapi justru menjadi bagian yang paling mengganggu dan membosankan penonton. Cukuplah penghargaan terhadap kru disebutkan secara sekilas, diwakili oleh para pemain yang muncul serempak dan memberikan salam akhir pada penonton. Setidaknya itulah yang saya lihat ketika menonton teater di Jerman, sehingga tepuk tangan penonton pun terdengar meriah dan membahana di seluruh ruang teater. Tentunya mendengar tepukan tangan meriah dari penonton akan lebih membanggakan bagi pemain dan kru. Hal yang tidak terdengar di Sabuga karena musik terus mengalun dan MC terus menyebutkan nama-nama tanpa henti. Akhirnya tepuk tangan kami kasilep alunan musik, dan kami pun menjadi agak malas bertepuk tangan berkali-kali. 

Secara keseluruhan, musikal ini wajib ditonton oleh masyarakat Sunda. Karena masyarakat Sunda terbentang dari Jawa Barat hingga Banten. Dua jempol untuk lutung. 

*n.b. Poster diunduh dari situs resmi Musikal Lutung Kasarung.