Sabtu, 15 Januari 2011

Candi Bojongmenje tak Terawat, Pemugaran tak Terealisasi

Baru saja saya tulis tentang pelestarian di Bandung, sudah keluar lagi berita sedih seperti ini. Mari kita bergerak menyelamatkan situs ini!

Sumber Pikiran Rakyat online; Pikiran Rakyat cetak edisi Sabtu, 15 Januari 2011 rubrik Bandung Raya dengan judul "Kondisi Candi Bojongmenje Menyedihkan"

Candi Bojongmenje tak Terawat, Pemugaran tak Terealisasi

MIRADIN SYAHBANA/"PRLM"
MIRADIN SYAHBANA/"PRLM"
Rohman (74), pengurus situs Candi Bojongmenje sedang bercerita mengenai keberadaan serta sejarah Candi Bojongmenje. Candi Bojongmenje diyakini merupakan salah satu candi berusia tua.*
SOREANG, (PRLM).- Kondisi Situs Candi Bojongmenje yang terletak di Kampung Bojongmenje RT 2 RW 2, Desa Cangkuang, Kec. Rancaekek, Kab. Bandung sangat memprihatinkan dan tidak terawat. Bahkan, rencana penanganan untuk pemugaran Candi Bojongmenje pada 2009 lalu, oleh beberapa dinas terkait tidak terealisasi hingga sekarang.
Selain itu, fasilitas yang ada di komplek penggalian candi tersebut sudah tidak layak pakai. Seperti rumah tinggal petugas jaga yang sudah rusak serta tempat penyimpanan bongkahan batu candi yang tidak sesuai kapasitasnya.
Candi yang ditemukan pada 2002 tersebut sebenarnya belum selesai digali. Sehingga banyak bagian candi yang masih terkubur. “Jangankan untuk perawatan, Candi ini sebenarnya belum selesai digali, baru bagian kaki dan badan candi yang sudah diangkat.” kata Rohman (74), pengurus situs Candi Bojongmenje saat ditemui “PRLM”, Jumat, (14/1).
Rohman mengungkapkan, saat ditemukan pada 18 Agustus 2002, proses penggalian hanya berlangsung selama 20 hari dan hingga saat ini proses penggalian Candi Bojongmenje tidak dilakukan kembali. “Setelah menjalani proses penggalian walaupun belum selesai, tempat tersebut dibeton di sekitar pinggirnya agar galian tersebut tidak longsor. Seluruh fasilitas tersebut selesai dibangun januari 2004,” katanya.
Namun, sejak saat itu tidak ada tindak lanjut dari pemerintah mengenai penggalian dan perawatan Candi Bojongmenje tersebut. Hingga akhirnya kondisi Candi saat ini kurang terawat. Sebenarnya di daerah tesebut terdapat empat lokasi candi, namun tiga candi lainnya tergerus lahan pabrik, hingga tidak bisa digali dan diselamatkan.
Ketidakpedulian tidak hanya menimpa candi dan bangunannya saja, Rohman sebagai penjaga situs pun merasa tidak diperhatikan. Hal ini disebabkan tidak mencukupinya honor yang ia terima. Rohman hanya menerima honor sebesar Rp300.000 setiap tiga bulan. Selain itu, ia juga menuturkan pengajuan yang ia berikan terkait perawatan dan kerusakan candi tidak pernah ditanggapi pemerintah. “bahkan, semua fasilitas yang ada disini perawatannya dibiayai uang pribadi saya,” kata Rohman.
Candi Bojongmenje diyakini merupakan salah satu candi berusia tua. Usia Candi Bojongmenje diyakini lebih tua dari candi-candi yang ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sehingga dengan ditemukannya candi Bojongmenje, fakta sejarah bahwa penyebaran budaya terjadi dari timur ke barat akan terbantahkan, dan menjadi sebaliknya. Yaitu dari barat ke timur.
Hal ini tentu membaggakan masyarakat Sunda. Selain candi Bojongmenje yang diperkirakan dibangun pada abad ke-7, Jawa Barat juga memiliki candi berusia tua lainnya. Yaitu candi di situs Batujaya yang dibangun pada abad ke-2. Penemuan Candi Bojongmenje akan mengangkat nama Sunda yang selama ini perannya dalam panggung sejarah percandian kurang terperhatikan. (A-194/Job/das)***

Jumat, 14 Januari 2011

Fenomena topeng monyet

Baru saja saya membaca tulisan berjudul waralaba topeng monyet. Satu tulisan yang menarik. Saya baru tahu kalau ternyata kemunculan topeng monyet ini sudah berlangsung hampir 2 tahun. Maklum, ketika itu sedang merantau. Sementara topeng monyet menjamur, anak jalanan, pengamen dan pengemis berkurang drastis. 

Hampir di setiap perempatan jalan, di sudut lampu merah bisa ditemui topeng monyet. Atraksi yang ditampilkan rata-rata sama, tak ada keunikan antara satu dengan yang lain. Kembali ke tulisan tentang waralaba topeng monyet tadi, seandainya para pelaku lebih kreatif dan menyajikan atraksi yang berbeda di setiap tempat, tentu para pengguna jalan akan lebih terhibur. Seperti dibahas di tulisan ini. Saya sebetulnya kasihan dengan monyetnya. Mereka dieksploitasi sedemikian rupa. Dari mana pula orang-orang itu mendapatkan monyet-monyet?

Ketika saya menjalani wawancara untuk satu developer besar, ternyata sang pewawancara - manajer HRD perusahaan tersebut - aktif bergiat di dunia sosial yang berhubungan dengan masyarakat kelas bawah. Saya pun bertanya padanya tentang fenomena topeng monyet ini. Menurutnya, topeng monyet muncul karena anak jalanan dan pengemis, sebagai salah satu metoda mencari uang sudah kehilangan simpati masyarakat umum. Dengan kata lain, masyarakat umum sudah tidak tergerak hatinya ketika melihat anak-anak jalanan dan pengemis. Tentunya ini berbanding lurus dengan penghasilan yang mereka peroleh. Mudah ditebak bahwa rupanya pendapatan menurun dari sektor ini. Singkat kata para pelaku mencari alternatif lain dan pilihan pun jatuh pada topeng monyet.

Sebetulnya saya lebih terhibur oleh para pengamen di Bandung yang bisa dikatakan kreatif. Sayangnya kreativitas itu tampaknya menurun. Dulu di salah satu perempatan, ada pengamen calung yang membawakan lagu-lagu berbahasa Sunda. Menurut saya unik dan menarik. Sayangnya lagu-lagu yang dibawakan sering kali berlirik vulgar. Coba dia menyanyikan lagu Sunda yang lebih baik liriknya, mungkin bisa saya rekomendasikan ke sanggar seni.

Kembali ke topeng monyet, hari ini saya tak melihat topeng monyet di beberapa perempatan tempat mangkal mereka. Entah apa yang terjadi. Apakah penghsilan mereka menurun ataukah mereka terkena pelarangan tampil. Bagaimanapun, topeng monyet masih lebih baik daripada mengemis, apalagi menyuruh anak-anak mengemis.



Senin, 03 Januari 2011

Pelestarian di Bandung

Berbagai kasus pembongkaran bangunan tua telah terjadi di Bandung hingga 2010. Kasus penghancuran pemandian Cihampelas yang terjadi sebelum terbitnya Perda tentang Pengelolaan Kawasan dan Bangunan Cagar Budaya pada 2009, disusul lagi dengan pembongkaran bangunan di Jalan Braga, dan kemudian pembongkaran bekas hotel Harapan Eka Graha yang dijadikan lahan parkir yang menuai protes serta tangis para veteran pejuang kemerdekaan adalah beberapa contohnya. Belum lama ini, beberapa kalangan masyarakat kembali dihebohkan oleh pembongkaran bangunan tua, kali ini kolam renang Centrum, yang kabarnya akan dijadikan restoran.

Tak berhenti di situ, berbagai bangunan lama, entah disengaja atau memang tak ada biaya, dibiarkan rusak dan lapuk. Tak perlu jauh-jauh, di sebelah Majestic, di Jalan Braga yang diklaim sebagai ikon Parijs van Java, bangunan bekas toko au bon marche dibiarkan merana menunggu ajal. Masih banyak lagi bangunan-bangunan tua yang bernasib serupa dan akan mengalami nasib serupa.
Belum lagi kondisi museum yang kurang gereget, seolah keberadaan hanya untuk menambah panjang daftar museum kota. Banyak di antaranya tidak dikenal masyarakat. Dari sekian banyak museum di Bandung, hanya sedikit yang populer. Museum KAA, Museum Geologi, Museum Pos, dan Museum Sri Baduga adalah beberapa di antaranya. Di antara sedikit yang populer itu, sepertinya hanya Museum KAA yang memiliki semangat tinggi dengan berbagai acara yang diadakannya.

Cagar budaya lebih dari sekadar benda atau bangunan. Cagar budaya meliputi juga kawasan, tradisi, dan masyarakat sebagai pelaku pelestari. Apresiasi dan pemahaman masyarakat (dan juga pemerintah) tentang cagar budaya sangat penting demi pelestariannya. 

"Kita tidak bisa menjaga semua" begitulah komentar beberapa praktisi pelestarian di Prancis, yang di antaranya adalah staf Kementerian Kebudayaan Prancis, dalam perkuliahan program master pelestarian di negeri itu. Kalimat itu ada benarnya, terutama mengingat proses pembangunan yang dinamis dan zaman yang akan terus berubah. Seleksi dalam pelestarian pun mutlak terjadi. Misalnya di Bandung, jumlah bangunan yang dinyatakan sebagai cagar budaya menyusut jumlahnya, dari 500-an bangunan menjadi 200 (diusulkan dalam draf perda), dan kini hanya 100 (tertulis 99 nomor dalam daftar cagar budaya perda, tetapi jika diteliti terdapat 100 alamat yang berbeda) yang diakui pemerintah daerah dan masuk dalam lampiran perda. Inilah contoh seleksi yang memahami konsep pelestarian secara parsial. 

Tidak semua benda atau kawasan dapat dikatakan cagar budaya dengan menganalisis nilai-nilai kepentingannya berkaitan dengan sejarah. Namun melihat pelestarian semata sebagai beberapa bangunan yang dianggap penting sehingga masuk dalam daftar cagar budaya yang dilindungi perda juga tidak benar. Pelestarian harus dilihat sebagai konsep menyeluruh meliputi kawasan, tradisi, dan pelakunya.

Masyarakat Indonesia, terutama investor, dan kadang pemerintahnya, cenderung melihat kawasan kota tua sebagai pengganggu dan penghambur anggaran. Akan tetapi, ironisnya mereka merasa lebih bergengsi jika bisa berwisata ke kota-kota tua di negara lain, terutama Eropa. Apa sebenarnya yang dilihat di Eropa? Kota tua, peninggalan arkeologi, museum. Itulah yang memberi gengsi pariwisata di Eropa. Hal itu menunjukkan dualisme dari para pelaku investasi dan bisnis. Mereka memilih menghancurkan satu bangunan bagian dari kawasan kota tua atas nama pembangunan, tetapi memilih menikmati kota tua di negara lain ketimbang jenis mal seperti yang mereka ciptakan di kawasan kota tua di negerinya sendiri. Inilah yang mengganggu kelanjutan suasana kawasan secara keseluruhan. Tak lagi ditemui kontinuitas suasana kawasan karena karakternya terganggu oleh bangunan-bangunan baru yang muncul sesuka hati. 

Jika kondisinya dibalik, hal yang sama pun berlaku. Masyarakat barat (Eropa, Amerika, Australia) tidak berwisata untuk berbelanja, tetapi mencari keunikan di satu kota atau kawasan. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa perilaku (sebagian kecil) masyarakat Indonesia (beruang) yang cenderung menghancurkan pusakanya sendiri justru membuang potensi pariwisata budaya.

Di satu sisi, perubahan fungsi bangunan tidak bisa dihindari dalam mengikuti perkembangan zaman. Akan tetapi, pelestarian penting dilaksanakan demi terjaganya memori kolektif agar identitas kota terjaga. Kota tanpa pengingat sejarah akan mengalami amnesia dan pada akhirnya kehilangan identitas. Identitas baru memang bisa diciptakan dalam kurun waktu tertentu, tetapi tetap akan berada di bawah bayang-bayang sejarahnya. Meski Bandung telah diklaim sebagai ibu kota Asia Afrika di tahun 1955 dan kota kreatif dekade ini, tetapi hantu Parijs van Java tetap melekat kuat atau dilekatkan kuat sebagian warganya. 

Apa yang akan terjadi dengan Kota Bandung dan warisan budayanya pada 2011? Akankah hantu Parijs van Java tetap mengikuti? Seberapa besar harapan bagi dunia pelestarian di Bandung? Warisan budaya tidak hanya milik masa kini, tetapi terutama adalah milik masa depan, milik generasi mendatang. Untuk generasi mendatanglah kita menjaga dan melestarikannya hari ini.*** 

Dimuat di HU Pikiran Rakyat, Senin 3 Januari 2011