Selasa, 15 November 2011

Komodo dan Dunia

Saat ini sedang segala sesuatu yang berbau tradisi dan etnik sedang dalam tahap naik daun setelah beberapa tahun ke belakang hal-hal yang sama dianggap kuno dan ketinggalan jaman. Isu yang sedang panas saat ini adalah pemilihan tujuh keajaiban dunia yang baru (The New 7 Wonders of The World). Banyak orang dan tokoh mendukung upaya pemerintah Indonesia dalam mempromosikan pulau Komodo sebagai satu-satunya calon tersisa dari Indonesia agar dapat masuk ke dalam daftar tujuh keajaiban dunia, yang sekarang telah dinyatakan sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia. Pemilihan tersebut diadakan oleh sebuah organisasi bernama sama. 

Di tengah pesimisme dan keraguan terhadap kredibilitas organisasi penyelenggara, pemerintah Indonesia tetap gencar menginformasikan kegiatan ini pada masyarakat untuk mendapatkan dukungan. Hal ini dilakukan dengan dalih Borobudur telah dicoret dari daftar tujuh keajaiban dunia. Beberapa kalangan menganggap promosi berlebihan dilakukan terhadap Komodo. Ketidaktahuan dan informasi yang kurang akurat juga mengakibatkan reaksi nasionalisme berlebihan dari masyarakat.

Pada kenyataannya Pulau Komodo telah diakui dunia sejak lama melalui UNESCO, salah satu badan PBB yang bergerak di bidang pendidikan dan kebudayaan, sebagai salah satu warisan dunia yang wajib dilindungi dan dipelihara keberadaannya. 

Apa sebetulnya kelebihan dan kekurangan dari pengakuan suatu situs atau warisan budaya oleh lembaga ini?  Jika pemerintah setempat pandai mengelola “harta” yang dimiliknya dan cermat dalam melihat kesempatan, pengakuan yang diberikan UNESCO memiliki beberapa kelebihan. Promosi global adalah salah satunya. Banyak orang oksidental beramai-ramai mengunjungi situs-situs berlabel ‘UNESCO’. Labelisasi ini membawa prestise tersendiri bagi situs atau tempat warisan budaya yang menyandangnya. 

Kenalkah kita dengan situs dan warisan budaya kita yang telah diberi label oleh UNESCO? Terdapat tujuh situs (arkeologis dan alami) dan empat warisan budaya tak benda berupa unsur kesenian tradisi Indonesia yang diakui dan dilindungi secara internasional. Satu di antaranya tanggal 22 Juni lalu ditetapkan sebagai Cagar Budaya Dunia yang Terancam – World Heritage in Danger.
Empat unsur tradisi yang diakui adalah keris, wayang kulit, batik dan angklung. Praktis semua unsur budya tak benda yang ada di pulau Jawa. Berita terakhir tari Saman akan diajukan sebagai unsur warisan budaya tak benda selanjutnya. 

Borobudur, Taman Nasional Lorentz, Taman Nasional Ujung Kulon, Situs Sangiran dan Pulau Komodo adalah lima di antara tujuh situs arkeologis dan alami yang terdaftar. Situs lain adalah Prambanan yang sedikit istimewa karena situs ini selain  berada di bawah perlindungan hukum internasional, ia tidak boleh dihancurkan oleh tangan manusia dalam keadaan konflik sekalipun. Situs berikutnya adalah Hutan Hujan Sumatera. Inilah situs yang dianggap UNESCO sedang berada dalam bahaya karena perburuan, pembalakan liar, merambatnya areal pertanian dan rencana pembangunan jalan melewati kawasan hutan lindung.

Kekhawatiran UNESCO tentu beralasan. Jika kegiatan-kegiatan tersebut terus berlangsung tanpa kontrol ketat dan jalan dibangun tanpa perencanaan matang tentu akan memberikan dampak negatif yang sangat besar. Dampak terparah adalah habisnya hutan hujan tersebut oleh pembangunan. Jika pemerintah tak kunjung memperbaiki pemeliharaan hutan dan tetap menjalankan rencana semula, situs inilah yang pertama akan dicoret dari daftar Warisan Dunia dan bisa dipastikan tak akan mendapat banyak bantuan internasional (dalam hal ini UNESCO) seandainya terjadi kerusakan atau bencana. Di saat ada warisan budaya yang jelas-jelas terancam keberadaannya mengapa pemerintah memaksakan untuk memperoleh gelar tujuh keajaiban dunia? 

Komodo sudah menjadi milik dunia. Sebelum menjadi milik dunia ia telah lebih dulu kita miliki. Banyak yang membutuhkan perhatian sama besarnya selain Komodo. Seperti Badak Jawa yang hanya tersisa 50 ekor di Ujung Kulon. Jika Badak-badak ini punah, maka Ujung Kulon pun akan dihapus dari daftar warisan budaya dunia UNESCO. Lalu apa pentingnya pengakuan tersebut ?

Masih ingatkah kita ketika Merapi meletus? Korbannya tak hanya rakyat, tapi juga situs-situs bersejarah. UNESCO menutup sementara Borobudur dan Prambanan untuk membersihkan situs dan memperbaiki kerusakan. Akan tetapi para pramuwisata di sana marah-marah dengan alasan UNESCO telah menutup mata pencaharian mereka. Bukankan jika kerusakan tidak diperbaiki dan kotoran tidak dibersihkan tidak akan ada turis yang darang lagi ke sana ? Jika kehilangan tersebut permanen tentu bukan hanya mereka tapi juga kita semua yang akan merasakan akibat jangka panjangnya. 

Komodo, Borobudur dan kawan-kawan bukan sekedar peninggalan masa lalu, tapi merupakan bagian dari sejarah asal-usul manusia Indonesia. Jika pemerintah dan masyarakat luas tak mampu mengakui kekayaan alam dan budaya untuk kemudian menjaganya dengan baik, pengakuan dan labelisasi dari luar sebanyak apapun tidak akan berarti apa-apa. Sebaliknya, pengakuan dari dalam yang diikuti upaya pelestarian secara menyeluruh akan lebih bermakna. Setiap warisan budaya ibarat kenangan peninggalan dari orang tua kita, milik generasi sekarang, yang ditinggalkan sebagai sarana pembelajaran bagi kita dan generasi mendatang.

Selasa, 25 Oktober 2011

Kebakaran Kampung Dukuh


*Sekedar dokumentasi. Agak telat re-post-nya.*

Kampung Adat Dukuh Garut Musnah Terbakar

ANTARA/M Agung Rajasa
TEMPO Interaktif, Garut - Kampung adat dukuh yang berada di Desa Ciroyom, Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut, Jawa Barat, terbakar. Seluruh rumah adat dan fasilitas umum rata dengan tanah. Beruntung tidak ada korban jiwa dalam peristiwa tersebut.

Namun seluruh peninggalan sejarah perkembangan Islam yang ada di kampung adat tersebut musnah dilalap si jago merah. “Tidak ada sedikit pun yang tersisa,” ujar Camat Cikelet, Rosidin, Sabtu, 10 September 2011.

Menurut dia, peristiwa kebakaran itu berlangsung cepat dalam waktu satu jam. Api mulai berkobar pada pukul 09.00 WIB dan berhasil dipadamkan pukul 10.00 WIB. Jumlah bangunan yang terbakar sebanyak 46 unit, di antaranya seluruh rumah adat yang berjumlah 40 unit, 2 rumah warga kampung adat Dukuh luar, dan empat sarana umum, seperti madrasah, masjid, MCK, dan rumah adat untuk pertemuan.

Penyebab kebakaran, lanjut Rosidin, diduga akibat pembalakan liar. Hutan yang tidak jauh dari Kampung Dukuh dijadikan kebun oleh warga luar dengan cara dibakar. Namun akibat angin kencang, percikan api dari pembukaan lahan tersebut terbawa ke permukiman.

Rumah adat yang terbuat dari bilik bambu dan beratap sirap atau ijuk langsung terbakar. Kobaran api langsung membesar karena tertiup angin yang cukup kencang. Jarak rumah yang saling berdekatan pun menyebabkan kebakaran hebat tidak dapat terelakan.

Akibat kondisi ini, seluruh warga kampung adat Dukuh yang terdiri dari 46 kepala keluarga yang dihuni 170 jiwa harus kehilangan harta benda dan tempat tinggalnya. Mereka kini mengungsi di tempat sanak saudaranya yang berada di Kampung Dukuh luar. ”Keadaannya memprihatinkan, semua yang kami miliki hilang,” ujar Kuncen Kampung Dukuh, Uluk Lukman.

Saat ini, kata dia, pihaknya belum mengetahui benda peninggalan sejarah apa yang masih tersisa akibat kebakaran ini. “Kami masih melakukan pengecekan semuanya,” ujarnya.

Juru bicara Pemerintah Kabupaten Garut, Dikdik Hendrajaya, mengatakan pihaknya telah menerjunkan tim untuk meringankan beban warga kampung adat Dukuh. Tim dari Dinas Kesehatan telah meluncur ke lokasi kejadian untuk mendirikan posko kesehatan. Sedangkan untuk kebutuhan logistik telah diterjunkan tim dari Dinas Tenaga Kerja, Sosial, dan Transmigrasi Kabupaten Garut. “Kita masih terus melakukan pendataan untuk menyuplai kebutuhan warga di sana,” ujarnya.

Kebakaran hebat ini bukanlah yang pertama kalinya. Pada tahun 2006 lalu, musibah kebakaran menghanguskan sekitar 51 bangunan dan sejumlah barang pusaka, seperti naskah kuno dari daluang dengan tulisan Arab gundul (pegon). Naskah tersebut berisikan silsilah masyarakat adat Dukuh, pantangan dan tata cara adat, serta berbagai sejarah, mulai dari pendirian Kampung Dukuh hingga ramalan (uga) sesepuh. Selain itu, juga sejumlah benda pusaka, seperti keris dan golok, hilang.

Kampung adat yang berjarak sekitat 150 kilometer arah selatan Kota Garut dengan luas sekitar 10 hektare ini merupakan cerminan budaya yang berlandaskan religi sangat kuat dengan pandangan hidup berlandaskan pada sufisme dengan berpedoman pada mazhab Imam Syafii.

Kesederhanaan dan keharmonisan di kampung ini terlihat dari keseragaman struktur dan bentuk arsitektur bangunan. Permukiman warga terdiri dari puluhan rumah yang tersusun pada kemiringan tanah bertingkat. Bangunan rumah berbentuk empat persegi panjang terbuat dari kayu atau bambu beratap daun ilalang yang dilapisi ijuk. Semua bangungan membujur menghadap ke barat dan timur. Ciri khas lainnya hingga kini tidak terpengaruh oleh kemajuan zaman, bahkan nyaris tidak mengenal perkembangan ilmu teknologi. Semua perkakas rumah tangga pun terbuat dari pepohonan.

SIGIT ZULMUNIR

Kampung Dukuh - rekonstruksi

*Semoga proses pelestarian kampung adat Dukuh dapat berjalan baik dan sesuai dengan nilai-nilai yang tradisi yang ada.*

 

 

Arsitek Hijau Bangun Kampung Dukuh

BANDUNG, (PRLM).- Pembangunan kembali Kampung adat Dukuh dalam yang ludes terbakar pada 10 September silam, akan melibatkan Green Architect (Arsitek Hijau) Universitas Katolik Parahyangan (Unpar). Hal itu dikarenakan Green Architect memiliki dokumentasi lengkap Kampung adat Dukuh dalam sejak tahun 1987.
Penggagas Green Architect Unpar, Mulyono Akbar, menuturkan, sejak tahun 1985, Green Architect sudah mendokumentasikan dan membuat blue print rumah-rumah adat etnik khas Indonesia. Mereka sempat didokumentasikan adalah rumah adat di Kampung Dukuh.
"Kami mendokumentasikan Kampung Adat Dukuh di tahun 1987. Mulai sketsanya, gambar penampang, denah kampung, denah rumah, pembagian ruangan di dalam rumah, ornamen-ornamen, foto-foto, kosmologisnya, struktur bangunan, bahan-bahan bangunan yang dipakai, hingga larangan-larangan yang ada di sana" katanya kepada wartawan, di Gedung DPRD Prov. Jabar, Rabu (21/9) siang.
Mulyono yang didampingi sesama alumni Green Architect Unpar, Willy Atmaja, menjelaskan, selain 1987, tim dari Green Architect kembali mendokumentasi Kampung Adat Dukuh di tahun 2007. Itu dilakukan beberapa bulan setelah Kampung Adat Dukuh terbakar di tahun 2006 silam.
"Namun dokumentasi yang masih menggambarkan bangunan aslinya ialah dokumentasi yang tahun 1987. Dokumentasi itu yang akan menjadi acuan nanti," ucapnya.
Meski demikian, Green Architect atau Arsitek Hijau, tidak bisa serta merta menerapkan dokumentasi-dokumentasi yang ada dalam pembangunan kembali Kampung Adat Dukuh. "Harus memakai konsep partisipator plan. Artinya, kami dari tim harus tetap kembali ke lokasi. Melakukan wawancara kembali dengan warga kampung adat, bertukar pikiran, menginap di sana dan seterusnya. Tidak bisa satu arah. Harus semua elemen terlibat," katanya. (A-128/A-26).***

Rabu, 20 Juli 2011

Erasmus Mundus: The Stories Behind


Parantos medal!
Sudah Terbit!
Out now!

Erasmus Mundus story book, "The Stories Behind"
Bagaimana para penulis mendapat beasiswa? Bagaimana mereka beradaptasi & menikmati hari-hari di Eropa? Seperti apa pengalaman mereka? Cari tahu di sini!
Info lebih lanjut e-mail ke:
tanyatanyaem@gmail.com

*100 Pembeli pertama akan mendapat souvenir dari Komisi Uni Eropa

Jumat, 24 Juni 2011

Pengakuan dalam bahaya (Hutan Hujan Sumatra)!

Siapa sih yang tak kenal UNESCO? Mungkin banyak juga sih yang tidak kenal UNESCO. Lembaga ini merupakan salah satu anak PBB yang bergerak di bidang pendidikan dan kebudayaan. Lembaga ini menerbitkan daftar warisan budaya bagi setiap negara, yang mereka akui memiliki nilai universal dan 'keaslian' yang unik. 

Indonesia telah menempatkan tujuh situs dan empat warisan budaya tak benda berupa unsur kesenian tradisi sebagai World Heritage atau warisan budaya dunia yang diakui UNESCO. Saat ini pemerintah melalui kementrian kebudayaan dan pariwisata semakin gencar mengajukan berbagai unsur kesenian tradisi (warisan budaya tak benda) agar diakui sebagai warisan budaya dunia. Kekayaan budaya terakhir yang diakui adalah angklung. 

Hari Rabu lalu, 22 Juni 2011, salah satu situs warisan budaya dunia milik Indonesia dicantumkan ke dalam daftar warisan budaya dunia dalam bahaya (World Heritage In Danger).  Situs tersebut adalah hutan hujan Sumatera yang melingkupi tiga taman nasional, yaitu, Taman Nasional Gunung Leuser, Kerinci Seblat dan Bukit Barisan Selatan yang luas keseluruhan mencapai 2,5 hektar. Alasan penggeseran situs ini menjadi situs dalam bahaya adalah karena perburuan, pembalakan liar, merambatnya areal pertanian dan rencana pembangunan jalan melewati kawasan hutan lindung. Tak bisa dipungkiri, pembangunan jalan akan mengakibatkan perkembangan tak terencana di sekitarnya. Sudah bisa dipastikan, kawasan hutan akan semakin rusak jika pembangunan jalan tetap dilakukan tanpa rencana matang dan rancangan global.

Sebetulnya apa sih pentingnya mendapatkan pengakuan dari UNESCO ataupun negara lain untuk situs-situs dan warisan tradisi? Jika pemerintah dan masyarakat luas tak mampu mengakuinya untuk kemudian menjaganya dengan baik, apa arti pengakuan internasional itu? Pengakuan dari luar tentu membantu memberikan semangat untuk melestarikannya di dalam. Akan tetapi, pengakuan dari dalam yang diikuti upaya pelestarian secara menyeluruh tentu akan lebih bermakna karena setiap warisan budaya adalah milik generasi sekarang, yang ditinggalkan oleh generasi pendahulu sebagai sarana pembelajaran, dan yang terpenting  adalah sarana pembelajaran bagi generasi mendatang.

Pengakuan itu penting, tapi cukupkah berhenti sampai di situ? Sudah banyak warisan budaya kita yang secara terang-terangan berada dalam ancaman kepunahan. Tak sedikit pula yang mengundang konflik karena diakui negara lain. Kita sendiri tak mampu mengakui dan menjaganya, tapi ketika pengakuan orang lain muncul barulah kita sibuk mengakui 'benda' tersebut.

Saatnya mengubah sudut pandang. Warisan budaya bukan sekedar peninggalan masa lalu, tapi merupakan bagian dari sejarah asal-usul manusia. Seorang muda mengatakan, warisan budaya ibarat kenangan peninggalan dari orang tua kita, tak mengakui warisan budaya sama saja dengan tidak mengakui keberadaan orang tua dan leluhur kita. Jika tak ingin 'harta keluarga' kita diambil orang lain, maka mulailah menjaganya sedikit demi sedikit. Jangan sampai ada lagi yang dalam bahaya!

Kamis, 28 April 2011

Para Dutch Est Indies

Diambil dari blog pribadi saya di Multiply, tulisan yang saya buat di akhir tahun 2010. Rasanya tulisan ini belum saya pasang di Saujana. Oleh karena itu, meskipun sudah agak lama, tulisan ini saya ambil dari dokumen di Multiply saya dan saya pasang di sini.

Diposting oleh ratri pada Dec 6, '09 12:28 AM 
...Berhubung aku tidak pergi ke mana-mana, kuputuskan untuk mengerjakan tugas paper bertema Migration und Heimat (migrasi dan kampung halaman). Minggu lalu (atau dua minggu lalu) aku sudah menemukan materi yang akan kujadikan kajian tulisan. Materi itu tentang orang-orang (turunan) Belanda yang (terpaksa) harus meninggalkan Indonesia setelah Indonesia meraih kemerdekaan.

Sebelumnya aku mengira mereka itu ya warga Belanda biasa. Tak akan sulit bagi mereka untuk kembali ke Belanda karena mereka memiliki kewarganegaraan Belanda. Akan tetapi, setelah melakukan 'penelitian' (browsing :p), aku menemukan banyak hal menarik. 

Ternyata para warga Belanda yang sudah lama tinggal di Indonesia itu tidak terlalu diterima di negri asalnya. Bahkan mereka yang lahir dan tumbuh besar di Indonesia (beberapa merupakan campuran dan dikenal dengan nama Indo) selalu merindukann untuk kembali ke 'rumah' asal mereka alias Indonesia.

Di Berbagai belahan dunia, bahkan mereka sangat terikat dengan budaya Indo terutama makanan. Bagi mereka yang berdarah campuran, perbedaan fisik dengan kaum kaukasia lain membuat mereka kehilangan identitas. 

Generasi-generasi baru cenderung mencari atau berusaha mengukuhkan identitas mereka yang lain dari bangsa kaukasia. Hal ini selain disebabkan oleh perbedaan fisik, juga budaya dalam bahasa dan, terutama, makanan. Mereka menjadi seperti generasi yang tersesat.  

Di dunia maya kutemukan berbagai blog curhat mereka. Mereka bahkan membangun komunitas daring bertajuk Dutch East Indies (Indo). Dalam sebuah forumnya kulihat mereka membahas makanan kesukaan yang setahuku hanya akan disukai orang Indonesia. Mereka suka sambal, mereka suka petai (yang aku sendiri bahkan belum pernah memakannya) dan juga lumpia.

Dulu kupikir, orang Belanda yang kembali ke Belanda setelah perang dunia ke-2 tak akan menemui kesulitan apa-apa. Toh mereka kembali ke 'rumah'nya. Tapi ternyata tidak. Justru Indonesia dan segala sesuatu yang terkait dengannya adalah rumah mereka.

Generasi pertama selalu ingin kembali ke Indonesia walau sekedar berkunjung sebagai turis. Semantara generasi kedua dan selanjutnya, ingin mengunjungi Indonesia untuk mencari akar keluarga atau keluarga yang hilang. Selebihnya, mereka ingin membangun (atau mengukuhkan?) identitas mereka sendiri yang berbeda dari ras kaukasia maupun Asia. Mereka juga sedang berusaha mendokumentasikan warisan pusaka yang mereka miliki.

Aku tak tahu bagaimana dengan mantan kolonisator dari bangsa lain. Namun, pencarian untuk tugas ini sudah memperkaya kosakataku dengan sesuatu yang benar-benar baru dan sangat menarik untuk diketahui. Jangan pernah menutup mata dari hal-hal baru dan selalu membaca dengan pikiran bersih dan sudut pandang berbeda. 

Seorang pencinta Indonesia berkata padaku: berpikirlah dengan logika, bukan emosi. Karena watak orang Asia adalah emosional, sering kali logikanya tidak jalan dengan baik. Terbukti dari banyak blog Indonesia yang kukunjungi (terutama yang berbau agama) merasa benar sendiri dan kalau dikritik tak mau terima dengan lapang dada.

Para Indo ini sudah memberikan pelajaran baru yang luar biasa. Mereka ini tersebar di seluruh dunia dengan berbagai cerita. Cerita-cerita mereka akan selalu berkaitan dengan Indonesia. Asal mula keunikan identitas mereka dan pengobat kerinduan pada "kampung halaman".

Minggu, 06 Maret 2011

Identitas dan Pusaka: Mengenali (Kembali) Kota Melalui Mata Anak-anak

Sungguh menarik melihat karya-karya anak-anak sekolah dasar mengenai kota tempat mereka tinggal. Mereka berapresiasi mengenai kekhasan kota Bandung. Bandung di mata anak-anak ternyata identik dengan kesenian tari merak dan jaipongan, Gedung Sate, peneropongan bintang Bosscha dan  Gunung Tangkuban Perahu. 

Apa yang ditampilkan anak-anak secara umum merupakan gambaran identitas kota dan identitas daerah Jawa Barat yang mereka kenal. Gedung Sate, tak bisa disangkal telah menjadi tengaran dan simbol kota Bandung yang paling dikenal. Peneropongan bintang Bosscha dengan sejarah panjangnya, meski secara administratif berada di daerah Lembang, ternyata identik pula dengan kota Bandung di mata anak-anak, dan mungkin juga di mata masyarakat secara umum. Tari merak dan tari jaipong, serta angklung merupakan warisan budaya tak-benda milik masyarakat Jawa Barat yang paling popular dan dikenal secara luas. Kesenian-kesenian tersebut  secara tidak langsung telah mewakili citra daerah dan kota. Sementara itu, Gunung Tangkuban Perahu merupakan sumber legenda masyarakat dengan kisah Sangkuriangnya, legenda yang juga merupakan warisan budaya tak-benda.
Dalam salah satu karya, seorang anak menggambarkan Bandung baheula dan kiwari, dimana sang anak menggambarkan masa lalu Bandung dengan noni Belanda berdampingan dengan orang pribumi dengan latar hitam putih. Di samping gambar baheula adalah gambar kiwari dengan fokus seorang penari berlatar gedung sate sedang ditonton turis asing (Belanda?). Ide yang sangat sensitif dalam menggambarkan perubahan sosial budaya masyarakat kota dan perubahan identitas kota/daerah.
Lukisan-lukisan yang dipamerkan memiliki karakter khas masing-masing dengan ide-ide unik dan menarik. Di antaranya ada yang menggambarkan jembatan Pasupati sebagai bagian dari (identitas fisik) kota Bandung. Bahkan ada pula yang menggambarkan kemacetan dan sampah sebagai karakteristik kota Bandung. Yang lain menggambarkan bajigur, bandrek dan soto Bandung sebagai bagian dari Bandung “ haritage” – maksudnya tentu adalah heritage atau warisan budaya. Tak ketinggalan wayang golek, permainan egrang dan dokar.
Warisan budaya memang tak melulu berisi kenangan visual. Warisan budaya pun menyimpan kenangan  akan bunyi, sentuhan, dan rasa, bahkan aroma. Maka tak salah jika anak-anak menerjemahkan kesenian dan makanan sebagai unsur (warisan) budaya. Hal-hal yang dirasakan kelima inderalah yang membuat seseorang terikat pada suatu tempat. Pengalaman ruang dan resepsi rasalah yang mampu menciptakan kenangan mendalam terhadap suatu tempat.
Kegiatan-kegiatan bersama seperti workshop menggambar sangat bermanfaat sebagai salah satu media pendidikan anak dan juga untuk menanamkan kesadaran sejak dini terhadap budaya dan warisan budaya. Kegiatan seperti ini pun pada akhirnya mengeliminasi unsur kompetisi -yang biasa ditemui dalam kegiatan lomba- dan lebih mengedepankan partisipasi, sehingga setiap anak bisa ikut serta menuangkan ide tanpa harus merasa minder jika kemampuannya masih belum terasah betul. Oleh karena yang menjadi inti kegiatan bersama atau bahasa bekennya workshop tersebut adalah belajar bersama dan penanaman kepekaan nilai-nilai sosial budaya.
Sudut pandang anak-anak cenderung lebih jujur dalam mengungkapkan ekspresi dan apresiasi terhadap apa yang mereka lihat dan rasakan, yang kemudian mereka tuangkan dalam lukisan. Jika dilihat di ruang pameran sketsa secara keseluruhan, gambar anak-anak memberikan warna dan kehidupan terhadap lukisan lain yang tampak lebih serius dan berfokus pada bangunan sebagai objek utama. Berkebalikan dengan sketsa-sketsa lain, lukisan anak-anak justru lebih banyak berfokus pada manusia dan kegiatannya. Lukisan anak-anak menjadikan bangunan sebagai latar belakang berlangsungnya berbagai kegiatan manusia.
Melalui lukisan anak-anak pengamat bisa melihat fungsi bangunan (cagar budaya) sebagai latar berbagai kegiatan manusia. Dari lukisan-lukisan bertema seni dan budaya, kebanyakan menyajikan kegiatan budaya seperti tarian di depan gedung sate ataupun kegiatan wisata di kota Bandung. Dari berbagai deskripsi kegiatan yang ada, terlihat adanya suatu harmoni antara kegiatan sehari-hari masyarakat dengan kehadiran tempat-tempat warisan budaya. Dari beragamnya deskripsi dalam lukisan anak-anak tersebut, secara umum dapat disimpulkan, bahwa terdapat sebuah keterikatan secara fisik maupun emosi antara masyarakat dengan lingkungan (alam maupun buatan) kota tempat dia tinggal. Kini yang menjadi tugas utama adalah bagaimana cara kita sebagai masyarakat Kota Bandung untuk menjaga warisan-warisan budaya (benda dan tak-benda) yang ada sehingga terhindar dari kepunahan, karena warisan-warisan tersebut merupakan  bagian dari identitas kota dan masyarakat.

Jumat, 25 Februari 2011

Dago Car Free Hours

Ia duduk sendiri memandangi orang-orang yang lalu lalang. Senyumnya terurai ketika ada orang menghampiri barang yang dipajangnya. Namun ia tampak ragu untuk menawarkannya. Boneka-boneka kertas terdiam menanti pembeli. Sang kakek menatap keramaian, terlena suasana.

Ruang terbuka kota
Itulah satu pemandangan yang bisa ditemukan di Dago Car Free Day atau lebih tepatnya Dago Car Free Hours, karena hanya beberapa jam saja ruas jalan Dago bebas dari kendaraan bermotor. 

Keberadaan program Dago car free day telah menjadi pelepas rindu masyarakat kota terhadap ruang publik dengan akses tapa batas. Kesuksesan program ini semakin meningkat sejak pertama kali dicanangkan 9 Mei 2010 dengan positifnya apresiasi masyarakat terhadapnya hingga pemerintah kota pun berencana untuk menambah panjang ruas jalan yang akan dibebaskan dari kendaraan setiap hari minggu pagi (PR 19/12/2010). Tingginya animo masyarakat dalam memanfaatkan jalan Dago sebagai ruang beraktivitas bebas dan berekspresi merupakan bukti kerinduan warga kota akan kehadiran ruang publik kota dengan akses tanpa batas.
Bandung telah tumbuh tak terkendali tanpa rencana hampir menyerupai Jakarta dengan hanya berorientasi pada pembangunan fisik seperti mal dan perumahan (kecuali perbaikan jalan), dan orientasi ekonomi tanpa memperhatikan kebutuhan warga kota yang lebih bersifat tak-berwujud – ekspresi. Terlebih lagi dengan embel-embel (trademark) “kota kreatif”, kehadiran ruang publik  tanpa pagar menjadi hal yang sangat penting keberadaaannya untuk mendukung proses kreatif yang terus bertumbuh. Hanya di ruang publik dengan akses tanpa bataslah warga kota dapat bebas berinteraksi sosial secara santai tanpa terbedakan strata ekonomi yang semakin senjang. Di ruang publik tanpa batas pulalah semua lapisan masyarakat dapat berekspresi dan berkreasi. Namun tentunya perlu diperhatikan faktor keamanan dan disiplin saling menghargai dari warga kota dalam memanfaatkan ruang publik tanpa batas secara bersama-sama.
Dago car free day mengobati kerinduan warga akan ruang terbuka publik untuk beraktivitas setelah alun-alun berubah fungsi dan gasibu dipenuhi pedagang, serta berpindahnya aktivitas rekreasi ke dalam ruangan dalam rupa mal dan berbagai pusat perbelanjaan yang sangat konsumtif. Kehadiran Dago car free day tidak hanya dimanfaatkan warga untuk berolahraga atau sekedar jalan-jalan, tetapi juga dimanfaatkan untuk berbagai aktivitas komunal lainnya seperti pertunjukan seni, bahkan juga untuk sekedar melepas kebosanan dari dalam ruangan.

Pembenahan ruang kota dan kenyamanan psikologis warga kota
Mengutip hasil studi D.K. Halim dalam bukunya Psikologi Lingkungan Perkotaan (2008), sudah saatnya pemerintah membenahi kota yang (sudah) mulai semrawut sebelum warganya menjadi ‘gila’ secara masal. Kegilaan masal rentan tumbuh dengan bertambahnya kepadatan kota dan berkurangnya ruang-ruang aktivitas luar ruangan. Kegilaan yang dimaksud tampak dari semakin tinginya tingkat kriminalitas dan semakin padatnya jalanan oleh kendaraan bermotor dan pengemudi ugal-ugalan, serta didukung buruknya kualitas berbagai fasilitas umum seperti jalan raya yang nyaris tanpa trotoar, transportasi publik yang rendah tingkat keamanan dan kenyamananannya, dan kurangnya kontak sosial antar warga kota.
Program-program pembenahan yang sedang direncanakan seperti penertiban PKL gasibu di hari minggu, akan ditambahnya ruas car free day, pembenahan Cikapundung, serta penertiban kendaraan dengan dibuatnya ruang henti khusus kendaraan roda dua, juga rencana pembebasan beberapa ruas jalan dari parkir di badan jalan patut mendapat apresiasi yang baik. Sudah selayaknya sebuah kota dibuat untuk manusia, bukan untuk kendaraan bermotor. Akan tetapi, tentu semua keputusan itu harus disertai solusi terhadap permasalahan yang muncul kemudian, misalnya, penyediaan tempat parkir yang memadai di tempat-tempat tertentu atau tempat alternatif bagi pedagang atau pembenahan PKL dengan mengusung konsep tertentu sehingga bisa menjadi daya tarik kota. Hal terpenting adalah bahwa program-program tersebut harus berorientasi pada manusia penghuni kota, bukan berorientasi ekonomi atau pariwisata. Dua hal terakhir akan mengikuti ketika kota dan manusianya sehat.
Tak harus menciptakan ruang-ruang baru untuk memenuhi dahaga warga akan ruang hidup yang memberikan kenyamanan psikologis, cukup pembenahan terpadu ruang-ruang yang ada Hal yang tidak mudah, namun sangat mungkin dilaksanakan dengan banyaknya para ahli tata kota dan perencanaan-perancangan di kota Bandung untuk mengoptimalkan fungsi ruang-ruang kota yang belum dimanfaatkan dengan baik. Kerjasama antara pemerintah kota dengan para ahli perencanaan kota mutlak diperlukan untuk mengakomodasi kebutuhan dasar warga kota demi terjaganya kota dengan masyarakat yang sehat jasmani dan rohaninya. 

Kakek penjual boneka kertas ternyata hanya ingin melepas rasa lelah dan bosan karena berada di rumah sepanjang minggu. Ia hanya menikmati suasana ruang luar di hari minggu pagi yang cerah, menyaksikan orang-orang muda berlalu lalang dengan berbagai kegiatan. Ia hanya menikmati semilir angin di bawah pohon kecil yang meneduhinya. Ketika jam bebas kendaraan bermotor pun akhirnya usai, ia segera membereskan barang bawaannya, duduk sebentar dan berbincang dengan sesama pengunjung car free day. Senyumnya mengembang. Beberapa kisah singkat hidupnya ia sampaikan. Tak lama berselang, ia pun pulang ke rumahnya setelah memberikan cenderamata pada pengunjung yang mengobrol bersamanya. Satu boneka kertas saya bawa pulang sebagai oleh-oleh dari car free day di satu hari minggu.