Pernahkah mengunjungi Portal UNESCO? Di sana bisa dilihat daftar negara peserta dan daftar warisan budaya yang disahkan UNESCO sebagai warisan budaya dunia (World Heritage). Di sana juga bisa ditemukan berbagai warisan budaya masing-masing negara yang diajukan namun tidak diterima. Sebut saja Masjid Agung Demak, kompleks kraton Jogjakarta, Tana Toraja dan terakhir Bali.
Mengapa sampai terjadi penolakan terhadap warisan budaya yang diusulkan?
Ada banyak alasan, salah satu di antaranya adalah kurangnya pemenuhan persyaratan yang diminta. Misalnya untuk Masjid Agung Demak. Masjid ini, seperti juga semua bangunan umum yang berfungsi di Indonesia telah direnovasi dan mengalami perubahan berkali-kali. Bagi logika Occidental hal ini tidak bisa diterima karena telah menghilangkan nilai otentisitas (keaslian) karya tersebut meskipun kita mengatakan bahwa bentuk dasarnya tidak berubah (atap tumpang dan denah persegi).
Bagi bangsa Eropa, yang disebut benda peninggalan asli adalah benda yang benar-benar asli dari masa lalu termasuk material yang digunakan tidak boleh diganti. Boleh diperbaiki, tapi tidak boleh diganti. Sebaliknya, di Jepang, keaslian adalah sepanjang bentuk, detil dan tata cara pembuatan sama maka benda itu asli meskipun material yang digunakan baru. Oleh karena itulah muncul piagam Nara yang mendefinisikan ulang pemahaman tentang 'keaslian' demi mengakomodasi perbedaan cara pandang. Namun Indonesia, tidak memiliki budaya seperti Jepang. Keaslian tidak terlalu penting untuk dijaga.
Kasus kedua mengambil contoh pengajuan Bali sebagai saujana budaya dunia. Dari rangkuman proposal yang diajukan, tidak terdapat nilai lebih Bali agar bisa diterima. Proposal tersebut hanya mengedepankan Tri Hita Karana sebagai nilai lebih pemanfaatan lahan di Bali tanpa menyebutkan dengan jelas apa sebenarnya yang dimaksud dengan Tri Hita Karana tadi. Jika demikian saja, apa bedanya teras-teras sawah di Bali dengan teras-teras sawah di Filipina yang sudah lebih dulu masuk sebagai saujana budaya dunia? Apa pula bedanya dengan teras-teras sawah yang ada di sepanjang pulau Sumatra dan Jawa dan seluruh Asia Tenggara? Tidak ada penjelasan yang memberi keistimewaan pada kawasan yang dipilih.
Selain itu pengajuan tampak tidak fokus pada tema yang ingin dikedepankan. Proposal mencampurkan antara continuing landscape dengan relict. Belajar dari Italia, mereka selalu terfokus pada satu tema dan mencari logika untuk mengangkat karya budaya dengan tema yang dipilih.
Ada banyak sekali warisan budaya dan sejarah di Indonesia yang bisa diangkat dan diajukan sebagai warisan budaya dunia. Tinggal cara pengusulan dan logika yang digunakan harus mampu membaca permintaan UNESCO yang notabene diisi logika Eropa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar