Dari sebuah konverensi di kota Cottbus, Jerman, seorang peneliti asal Portugal mengemukakan hasil pengamatannya. Pengamatan ini cukup menggelitik karena menyentuh legitimasi sustainable design atau rancangan berkelanjutan yang didominasi konsep arsitektur hijau terhadap keberlanjutan kota-kota bersejarah.
Pada prinsipnya rancangan berkelanjutan adalah sebuah konsep yang memperhatikan (baca: bertanggung jawab terhadap) keselarasan antara faktor sosial-budaya, ekonomi dan lingkungan. Faktor sosial-budaya dan ekonomi cukup jelas tanpa definisi lebih jauh. Hal yang menjadi permasalahan adalah pemahaman lingkungan. Terkadang ketika mendengar kata lingkungan maka yang terbayang di kepala adalah lingkungan alam. Padahal lingkungan pun bisa berarti lingkungan binaan tempat manusia berada. Pemahaman kedualah yang disoroti oleh peneliti tadi.
Kota-kota bersejarah di dunia, termasuk zona perlindungannya, berada dalam perimeter urban. Ia tidak bisa menghalangi pembangunan berlangsung di sekelilingnya. Di sini kemudian terjadi dilema. Di satu sisi, tanpa pembangunan sebuah kota akan stagnan dan statis. Sebaliknya dengan pembangunan ia akan menjadi lebih hidup. Akan tetapi dengan cara apa membuat sebuah kota (bersejarah) tetap hidup dengan mempertahankan nilai-nilai keunikannya di tengah pembangunan yang berlangsung?
Jawabannya mungkin terletak pada konsep sustainable design tadi. Namun seperti dijelaskan di atas, konsep sustainable design ini lebih terpaku pada pemahaman keberlanjutan untuk lingkungan alam sehingga tidak terlalu memperhatikan konteks keberlanjutan dari aspek kesejarahan. Dengan kata lain, sebuah kota tua yang dipenetrasi satu rancangan, katakanlah green design yang sedang populer, tentu akan mengubah wajah kota tersebut baik secara total maupun sebagian. Dengan terjadinya perubahan ini tentu keberlanjutan kota tua tersebut terganggu oleh makhluk yang baru datang. Sehingga dikatakan oleh peneliti Portugal ini bahwa rancangan berkelanjutan atau sustainable design yang seharusnya meningkatkan nilai keunikan suatu kota tua (bersejarah) justru malah mengancam keberlanjutannya.
Sang peneliti mengambil contoh kota tua di Eropa, apakah pengunjung, dan tentunya warga mengharapkan gambaran kota tuanya seperti sekarang? atau dengan berbagai bentuk tambahan dari arsitektur-arsitektur baru dengan bentuk beragam?
Sekarang mengambil contoh di Indonesia, apakah kita ingin melihat Yogya yang berkraton dengan skala bangunan rendah dengan semua peninggalan bersejarahnya? atau Yogya metropolitan dengan arsitektur kontemporer berbagai bentuk, warna dan ketinggian? Yang manakah wajah Yogya yang paling baik? Manakah wajah Yogya yang kita inginkan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar