Minggu, 27 Juni 2010
Uniknya Napoli - catatan EM (4)
Napoli adalah kota di Italia selatan. Kota ini tergolong kota besar dengan jumlah penduduk mencapai 1-2 juta jiwa, masih kalah dari Bandung sebetulnya, tapi bagi mereka jumlah itu sudah banyak sekali.
Kota ini dulunya adalah kota koloni Yunani. Napoli berasal dari kata nea-polis yang berarti kota baru. Kota lamanya bernama Parthenopolis. Lokasi pusat kota Parthenopolis dan Neapolis tidaklah berjauhan dan sekarang sudah bergabung menjadi pusat kota Napoli.
Di daerah selatan Italia ini, meskipun ia notabene kota besar, dan bisa disebut sebagai kota 'metropolitan', tapi masih bisa ditemui aktivitas-aktivitas tradisional khas warga setempat. Misalnya, saya sering sekali menemui ibu-ibu, terutama yang agak sepuh, berbelanja melalui tetangganya. Mungkin hal semacam ini bisa ditemui di mana saja.Hal yang unik adalah cara mereka bertukar belanjaan.
Para ibu yang tinggal di apartemen lantai atas menurunkan keranjang yang diikat tali ke bawah, orang yang dititipi belanjaan kemudian menaruh barang pesanan dalam keranjang tersebut. Ketika transaksi selesai, si ibu pembeli menarik keranjang kembali ke atas, persis kegiatan orang menimba. Untuk tukar informasi mereka cukup saling berteriak satu sama lain. Kepercayaan di antara mereka masih sangat kuat meskipun mereka banyak menaruh curiga terhadap para pendatang.
Kedua, di sudut-sudut rumah dengan mudah ditemui cekukan di dinding yang dipasangi gambar perawan Maria atau Yesus lengkap dengan lilin dan bunga. Kadang-kadang juga bisa ditemui potret anggota keluarga yang telah meninggal di sisi gambar tadi.
Ketiga, di daerah tempat saya tinggal tahun lalu, setiap minggu pagi datang pengamen. Di Indonesia yang namanya pengamen sih biasa, lalu apa anehnya pengamen Napoli?
Pengamen Napoli ini tidak sendirian. Mereka adalah kelompok drum band yang hanya muncul setiap hari minggu pagi. Di kala ada hari besar, misalnya paskah, kelompok ini menjadi atraksi unik dengan parade solo mereka sambil membawa patung Maria dan memainkan musik-musik tradisional daerah selatan.
Kemudian, hal yang paling menarik adalah jemuran. Jemuran bertebaran di dinding-dinding luar apartemen. Di pusat kota bisa ditemui rentangan jemuran antar gedung. Semua bisa ditemukan di rentangan jemuran itu, mulai dari handuk sampai pakaian dalam.
Di luar kisah mafianya yang terkenal dan slogan menakutkan "kau lihat, kau mati"nya, Napoli memiliki kisah uniknya sendiri. Warganya masih dengan sadar memegang tradisi bersama-sama hingga hari ini.
*Kiriman ulang dari catatan Facebook 14 Juni 2010 jam 0:45
Rabu, 23 Juni 2010
Melantjong ke Rio, mengikis stereotip
Orang-orang mungkin sedang sibuk mencari berita terbaru tentang skor terakhir piala dunia atau kelanjutan kasus video Ariel-Luna-Cut. Di lain pihak berita-berita tentang kebudayaan selalu muncul sekilas dan seperlunya.
Seorang kawan yang saya kenal secara daring, bahkan hingga sekarang belum saya temui di dunia nyata telah menapaki lagi satu anak tangga keberhasilan dengan proyeknya. Tahun lalu ia bertanya padaku tentang program kuliah yang kuikuti. Kemudian ia menginisiasi sebuah kegiatan wisata yang dinamainya Melantjong Petjinan Soerabaia. Di luar dugaan, proyek kecil-kecilan ini mendapat respon positif dan berkembang dengan baik. Ia baru saja kembali dari Rio de Janeiro, Brasil, dalam rangka memenuhi undangan dari UNAoC (United Nation Alliance of Civilization).
Dalam presentasinya ia menyampaikan bahwa motifnya memulai kegiatan wisata budaya tersebut adalah untuk mengikis stereotip negatif terhadap warga etnis Tionghoa di Indonesia. Ya, Indonesia memang kaya dengan berbagai stereotip. Sayang kebanyakan stereotip maknanya negatif. Saya teringat beberapa tahun lalu di bangku kuliah teman-teman saya sering bercanda tentang stereotip. Misalnya: Jawa identik dengan pembantu, Sunda yang matre, Batak yang kebanyakan berprofesi sebagai sopir angkot di kota saya atau Padang sang pemilik fotokopi dan rumah makan.
Stereotip tidak selalu benar. Contohnya saya yang keturunan Sunda-Jawa tidak menjadikan saya 'pembantu matre'. Namun harus diakui bahwa stereotip sangat mengganggu aliran komunikasi dan integrasi masyarakat.
Isu stereotip yang sekarang merebak di dunia adalah Islamophobia dengan berbagai aksi terorisme yang mengatasnamakan Islam. Inilah yang memperburuk nama Islam dan membuat orang luar tidak percaya dengan ajarannya. Belum lagi komunitas Islam keras di tanah air yang kadang mengusik ketertiban umum dan merusak dengan dalih demi penegakan syariah. Saya sendiri yang seorang muslim kadang merasa tidak nyaman dengan aksi mereka yang terkadang agresif. Padahal dulu walisongo pun saling menghormati meski mereka terbagi ke dalam kelompok santri dan abangan.
Isu stereotip yang sekarang merebak di dunia adalah Islamophobia dengan berbagai aksi terorisme yang mengatasnamakan Islam. Inilah yang memperburuk nama Islam dan membuat orang luar tidak percaya dengan ajarannya. Belum lagi komunitas Islam keras di tanah air yang kadang mengusik ketertiban umum dan merusak dengan dalih demi penegakan syariah. Saya sendiri yang seorang muslim kadang merasa tidak nyaman dengan aksi mereka yang terkadang agresif. Padahal dulu walisongo pun saling menghormati meski mereka terbagi ke dalam kelompok santri dan abangan.
Warga Tionghoa Indonesia pun telah hidup dalam stereotip yang diciptakan pemerintah kolonial yang berlanjut hingga setelah kemerdekaan. Di jaman orde baru, segala sesuatu yang berbau China dilarang dengan isu komunisme (ketika itu China inland berubah haluan menjadi negara komunis). Padahal sebagian besar warga Tionghoa Indonesia telah tinggal selama ratusan tahun di tanah air dan secara tidak langsung telah putus hubungannya dengan negara induk.
Hari ini, warga Tionghoa identik dengan pengusaha kaya. Masyarakat lupa bahwa etnis Tionghoa pun ada kelas rakyat jelata yang hidupnya biasa-biasa saja. Ambillah contoh warga China Benteng di Tangerang. Dua bulan lalu mereka terancam digusur dari tempat tinggalnya tanpa penggantian dari pemerintah. Siapa yang membantu mereka? Entah bagaimana kelanjutan kasus itu, belum sempat saya cari lagi beritanya.
Berkat kepemimpinan almarhum Gus Dur yang pluralis, kebudayaan etnis Tionghoa kembali diakui, bahkan Imlek menjadi salah satu hari besar nasional. Ada baiknya membaca tulisan-tulisan karya T.H.Pigeaud dan H.J. de Graaf, Slamet Muljana, Denys Lombard untuk mempelajari sejarah dan perkembangan etnis Tionghoa di Indonesia.
Stereotip membuat orang kehilangan kepercayaan dan menaruh curiga terhadap hal-hal yang asing baginya dan terjadi karena ketidaktahuan. Pembukaan wawasan budaya dan pengenalan sejarah adalah hal penting untuk memahami sebab akibat dari segala sesuatu yang kita pertanyakan hari ini, dan hal itu juga mendorong masyarakat untuk berpikir lebih kritis tanpa menghakimi.
*Catatan tambahan: Contoh lain usaha mengikis stereotip negatif dilakukan oleh Shah Rukh Khan melalui filmnya "My name is Khan (but I'm not a terrorist)".
Selasa, 22 Juni 2010
Stuttgart Weihnachtmarkt
Musim telah berganti. Musim dingin telah digantikan musim semi yang kini segera digantikan musim panas. Tahun ini cuaca agak aneh. Udara dingin dan salju berlangsung lebih lama dari tahun sebelumnya. Bahkan di daerah selatan Prancis, kot pelabuhan yang biasanya bermandikan cahaya matahari musim dingin seklai pun kali ini diterpa salju tebal, dan itu terjadi di akhir bulan Februari. Hal sangat langka terjadi bahkan bagi penduduk asli kota tersebut yang sudah tinggal di sana hampir seumur hidupnya.
Saya suka putih dan lembutnya salju yang baru turun. Namun saya tidak suka basah dan beceknya jalanan karena salju yang mencair.
Saya melewatkan musim dingin tahun 2009 di kota Stuttgart. Untungnya pemanas di apartemen berfungsi dengan baik. Dinginnya udara luar benar-benar menyiksa. Tangan dan kakiku hampir pasti selalu membeku.
Stuttgart di musim dingin terkenal dengan penurunan suhu, Oktoberfest dan Weihnachtmarkt-nya.
Oktoberfest adalah festival tahunan yang bertempat di taman terbesar kota Stuttgart dan berlangsung selama tiga minggu, dimulai akhir September dan berakhir pada pertengahan Oktober. Sementara Weihnachtmarkt adalah pasar natal yang berlangsung selama satu minggu sebelum natal.
Para Stuttgarter (penduduk kota Stuttgart) mengkalim Weihnachtmarkt mereka sebagai pasar natal terbesar di seluruh Eropa. Pasar ini memang cukup besar dengan memanfaatkan area di sekitar Schlossplatz hingga Rathaus. Di pasar ini bisa ditemukan berbaai hiasa tradisional yang dibuat dengan tangan. Karya-karya seni unik berbahan kayu yang tidak bisa ditemukan di toko-toko cinderamata biasa.
Untuk karya-karya tersebut tentu harga yang dipasan gjuga tidak sama dengan barang-barang pabrikan. Tapi hati-hati,karena tidak semua benda yang dijual adalah asli buatan Jerman. Benda-benda elektronik atau mekanik bisa jadi made in negara lain. Sementara untuk karya-karya tangan berbahan kayu, seperti mainan anak dan berbagai hiasan rumah, bisa dipastikan asli buatan tangan mereka.
Hal lain yang tidak bisa dipisahkan dari Weihnachtmarkt adalah kios makanan. Gluhwein dan Bratwurst adalah dua tipikal yang pasti akan ditemukan.
Malam itu hujan rintik menyertai langkahku menembus padatnya keramaian Weihnachtmarkt. Pernak-pernik dan mainan kayu yang cantik menggodaku. Sayang kondisi ekonomi tak mendukung untuk mengoleksi benda-benda cantik itu.
Tak ada salahnya mampir ke Weihnachtmarkt ini, salah satu peninggalan tradisi masyarakat Jerman, jika sedang berkunjung ke Stuttgart menjelang natal.
*Foto dalam tulisan ini diambil di Oktoberfest 2009*
Saya suka putih dan lembutnya salju yang baru turun. Namun saya tidak suka basah dan beceknya jalanan karena salju yang mencair.
Saya melewatkan musim dingin tahun 2009 di kota Stuttgart. Untungnya pemanas di apartemen berfungsi dengan baik. Dinginnya udara luar benar-benar menyiksa. Tangan dan kakiku hampir pasti selalu membeku.
Stuttgart di musim dingin terkenal dengan penurunan suhu, Oktoberfest dan Weihnachtmarkt-nya.
Oktoberfest adalah festival tahunan yang bertempat di taman terbesar kota Stuttgart dan berlangsung selama tiga minggu, dimulai akhir September dan berakhir pada pertengahan Oktober. Sementara Weihnachtmarkt adalah pasar natal yang berlangsung selama satu minggu sebelum natal.
Para Stuttgarter (penduduk kota Stuttgart) mengkalim Weihnachtmarkt mereka sebagai pasar natal terbesar di seluruh Eropa. Pasar ini memang cukup besar dengan memanfaatkan area di sekitar Schlossplatz hingga Rathaus. Di pasar ini bisa ditemukan berbaai hiasa tradisional yang dibuat dengan tangan. Karya-karya seni unik berbahan kayu yang tidak bisa ditemukan di toko-toko cinderamata biasa.
Untuk karya-karya tersebut tentu harga yang dipasan gjuga tidak sama dengan barang-barang pabrikan. Tapi hati-hati,karena tidak semua benda yang dijual adalah asli buatan Jerman. Benda-benda elektronik atau mekanik bisa jadi made in negara lain. Sementara untuk karya-karya tangan berbahan kayu, seperti mainan anak dan berbagai hiasan rumah, bisa dipastikan asli buatan tangan mereka.
Hal lain yang tidak bisa dipisahkan dari Weihnachtmarkt adalah kios makanan. Gluhwein dan Bratwurst adalah dua tipikal yang pasti akan ditemukan.
Malam itu hujan rintik menyertai langkahku menembus padatnya keramaian Weihnachtmarkt. Pernak-pernik dan mainan kayu yang cantik menggodaku. Sayang kondisi ekonomi tak mendukung untuk mengoleksi benda-benda cantik itu.
Tak ada salahnya mampir ke Weihnachtmarkt ini, salah satu peninggalan tradisi masyarakat Jerman, jika sedang berkunjung ke Stuttgart menjelang natal.
*Foto dalam tulisan ini diambil di Oktoberfest 2009*
Labels:
festival,
jerman,
pasar rakyat,
tradisi,
wisata
Minggu, 13 Juni 2010
Arsitektur Diktator
Awal abad ke dua puluh adalah masa pergerakan dunia baru. Dalam seni dan arsitektur masa ini dikenal sebagai jaman aliran internasional atau The International Style. Di samping aliran internasional, jaman ini juga ditandai dengan bermunculannya arsitektur diktator. Dibangkitkannya kembali gaya arsitektur Romawi yang dikenal juga sebagai langgam neoklasik, sebagai penanda hegemoni kekuasaan - The return of Roman Empire's glory.
Di awal abad ke dua puluh para diktator bermunculan dan mengukuhkan kekuasaannya salah satunya melalui arsitektur. Hittler 'menata ulang' ruas jalan Unter den Linden dan menciptakan aksis kekaisaran Jerman baru. Ia juga megninisiasi pembangunan menara televisi di Berlin. Sementara Musolini membangun gedung bergaya kuil Romawi di Piazza Venezia beraksis ke Piazza del Popolo.
Mengapa para diktator memilih mengadopsi arsitektur Romawi tentu bukan tanpa alasan. Bangsa Romawi adalah bangsa yang dipuja sebagai bangsa besar sekaligus pencipta peradaban Eropa. Bangsa ini pun menguasai kawasan Eropa Barat dan sebagian dataran Afrika Utara sampai diambil alih oleh kekaisaran Otoman (Turki). Peninggalan-peninggalan kejayaan Romawi berbekas di bentangan Eropa Barat sampai Afrika Utara. Arc de Triomphe, Colloseum dan jembatan air (di Prancis disebut Pont du Gard) bisa ditemukan di hampir seluruh Eropa Barat dan Afrika Utara.
Kemegahan dan kekuasaan bangsa Romawi menjadi legenda. Bahkan Paus memutuskan untuk memindahkan pusat kekuasaan dari Avignon di Prancis ke Roma pada masa Renaisans, ketika berbagai catatan dan karya-karya peninggalan bangsa Romawi diketemukan kembali di Eropa. Tidak mengherankan jika para diktator memilih untuk mengadopsi gaya arsitektur bangsa Romawi untuk menunjukkan kekuasaan mereka. Untuk menunjukkan mimpi ingin menjadi besar seperti kekaisaran Romawi.
Saya baru ngeh dengan langgam neoklasik ini yang dilihat sebagai arsitektur diktator melalui sebuah kuliah tentang arsitektur di Prancis. Sang dosen memaparkan hasil penelitiannya yang terutama berada di Rusia. Sebuah sudut pandang menarik yang semakin menunjukkan kendali penguasa terhadap wajah arsitektur kota atau bahkan negara.
Di Indonesia, langgam neoklasik ini disalahartikan dalam industri properti menjadi gaya mediterania. Padahal yang namanya gaya mediterania adalah rumah-rumah rakyat dengan tangga masuk di luar, tanpa pagar dan tanpa halaman. Masyarakat awam Indonesia yang tidak mengerti sejarah arsitektur tentunya merasa mendapat prestise jika memiliki rumah berlanggam 'mediterania' (baca: bergaya Eropa) yang simetris dengan kolom tinggi bergaya Ionoc atau Doric di depan rumah, yang sesungguhnya adalah langgam neoklasik atau langgam pilihan para diktator.
Di awal abad ke dua puluh para diktator bermunculan dan mengukuhkan kekuasaannya salah satunya melalui arsitektur. Hittler 'menata ulang' ruas jalan Unter den Linden dan menciptakan aksis kekaisaran Jerman baru. Ia juga megninisiasi pembangunan menara televisi di Berlin. Sementara Musolini membangun gedung bergaya kuil Romawi di Piazza Venezia beraksis ke Piazza del Popolo.
Mengapa para diktator memilih mengadopsi arsitektur Romawi tentu bukan tanpa alasan. Bangsa Romawi adalah bangsa yang dipuja sebagai bangsa besar sekaligus pencipta peradaban Eropa. Bangsa ini pun menguasai kawasan Eropa Barat dan sebagian dataran Afrika Utara sampai diambil alih oleh kekaisaran Otoman (Turki). Peninggalan-peninggalan kejayaan Romawi berbekas di bentangan Eropa Barat sampai Afrika Utara. Arc de Triomphe, Colloseum dan jembatan air (di Prancis disebut Pont du Gard) bisa ditemukan di hampir seluruh Eropa Barat dan Afrika Utara.
Kemegahan dan kekuasaan bangsa Romawi menjadi legenda. Bahkan Paus memutuskan untuk memindahkan pusat kekuasaan dari Avignon di Prancis ke Roma pada masa Renaisans, ketika berbagai catatan dan karya-karya peninggalan bangsa Romawi diketemukan kembali di Eropa. Tidak mengherankan jika para diktator memilih untuk mengadopsi gaya arsitektur bangsa Romawi untuk menunjukkan kekuasaan mereka. Untuk menunjukkan mimpi ingin menjadi besar seperti kekaisaran Romawi.
Saya baru ngeh dengan langgam neoklasik ini yang dilihat sebagai arsitektur diktator melalui sebuah kuliah tentang arsitektur di Prancis. Sang dosen memaparkan hasil penelitiannya yang terutama berada di Rusia. Sebuah sudut pandang menarik yang semakin menunjukkan kendali penguasa terhadap wajah arsitektur kota atau bahkan negara.
Di Indonesia, langgam neoklasik ini disalahartikan dalam industri properti menjadi gaya mediterania. Padahal yang namanya gaya mediterania adalah rumah-rumah rakyat dengan tangga masuk di luar, tanpa pagar dan tanpa halaman. Masyarakat awam Indonesia yang tidak mengerti sejarah arsitektur tentunya merasa mendapat prestise jika memiliki rumah berlanggam 'mediterania' (baca: bergaya Eropa) yang simetris dengan kolom tinggi bergaya Ionoc atau Doric di depan rumah, yang sesungguhnya adalah langgam neoklasik atau langgam pilihan para diktator.
Rabu, 09 Juni 2010
Turis Buat film lokomotif tua Pabrik Gula Tasikmadu - Artikel dari koran SI
http://aa.mg1.mail.yahoo.com/dc/blank.html?bn=397.8&.intl=it&.lang=en-SG
Diteruskan dari milis di atas, diambil dari koran SI. Pertanyaannya, kapan turis lokal tertarik dengan hal yang sama?
Diteruskan dari milis di atas, diambil dari koran SI. Pertanyaannya, kapan turis lokal tertarik dengan hal yang sama?
Turis Bikin Film Lokomotif Tua PG Tasikmadu
Rabu, 9 Juni 2010 - 08:49 wib
Ilustrasi (Foto: Wordpress)
KARANGANYAR - Keberadaan steam locco kuno di Pabrik Gula (PG) Tasikmadu, Karanganyar, Jawa Tengah, menarik perhatian komunitas pecinta lokomotif dari luar negeri.
Kondisi lokomotif tua yang sampai kini masih dipakai untuk menarik lori tebu tersebut dibuatkan film dokumenter. “Komunitas pecinta lokomotif langka yang membuat film dokumenter berasal dari Jerman dan Swiss,” ujar Manajer agrowisata Sondokoro PG Tasikmadu, Megantoro, Rabu (9/6/2010).
Sedangkan steam locco yang diabadikan adalah kereta uap Tasikmadu (TM) 6 buatan pabrik Orenstein & Koppel, Jerman tahun 1929. Sebelumnya mereka juga telah berkeliling ke Tegal, Pekalongan dan Ambarawa guna melihat kereta uap di sana. “Setelah dari PG Tasikmadu, mereka akan melihat sepur Kluthuk Jaladara di Solo dan lokomotif milik perhutani Cepu,” katanya.
Mereka tertarik dengan TM 6 karena keberadaannya kini hanya ada di PG Tasikmadu dan Norwegia. Dalam keseharian, lokomotif TM 6 masih dipakai untuk menarik lori tebu di lingkungan pabrik.
Kereta uap tersebut pada tahun 80-an masih dipakai untuk menarik lori dari perkebunan tebu. Namun pada tahun 90an hanya dipakai di lingungan pabrik setelah fungsinya digantikan angkutan truk.
Keberadaan lokomotif kuno memang sangat menarik turis mancanegara untuk datang ke Sondokoro. Selain Swiss dan Jerman, banyak juga turis dari Inggris dan Jepang yang ingin menyaksikan loko uap menggandeng lori berisi tebu yang siap digiling.
Saat ini agrowisata Sondokoro memiliki sembilan loko uap yang masih aktif.
(Ary Wahyu Wibowo/Koran SI/ful)
Selasa, 08 Juni 2010
Sustainable design vs World Heritage City
Dari sebuah konverensi di kota Cottbus, Jerman, seorang peneliti asal Portugal mengemukakan hasil pengamatannya. Pengamatan ini cukup menggelitik karena menyentuh legitimasi sustainable design atau rancangan berkelanjutan yang didominasi konsep arsitektur hijau terhadap keberlanjutan kota-kota bersejarah.
Pada prinsipnya rancangan berkelanjutan adalah sebuah konsep yang memperhatikan (baca: bertanggung jawab terhadap) keselarasan antara faktor sosial-budaya, ekonomi dan lingkungan. Faktor sosial-budaya dan ekonomi cukup jelas tanpa definisi lebih jauh. Hal yang menjadi permasalahan adalah pemahaman lingkungan. Terkadang ketika mendengar kata lingkungan maka yang terbayang di kepala adalah lingkungan alam. Padahal lingkungan pun bisa berarti lingkungan binaan tempat manusia berada. Pemahaman kedualah yang disoroti oleh peneliti tadi.
Kota-kota bersejarah di dunia, termasuk zona perlindungannya, berada dalam perimeter urban. Ia tidak bisa menghalangi pembangunan berlangsung di sekelilingnya. Di sini kemudian terjadi dilema. Di satu sisi, tanpa pembangunan sebuah kota akan stagnan dan statis. Sebaliknya dengan pembangunan ia akan menjadi lebih hidup. Akan tetapi dengan cara apa membuat sebuah kota (bersejarah) tetap hidup dengan mempertahankan nilai-nilai keunikannya di tengah pembangunan yang berlangsung?
Jawabannya mungkin terletak pada konsep sustainable design tadi. Namun seperti dijelaskan di atas, konsep sustainable design ini lebih terpaku pada pemahaman keberlanjutan untuk lingkungan alam sehingga tidak terlalu memperhatikan konteks keberlanjutan dari aspek kesejarahan. Dengan kata lain, sebuah kota tua yang dipenetrasi satu rancangan, katakanlah green design yang sedang populer, tentu akan mengubah wajah kota tersebut baik secara total maupun sebagian. Dengan terjadinya perubahan ini tentu keberlanjutan kota tua tersebut terganggu oleh makhluk yang baru datang. Sehingga dikatakan oleh peneliti Portugal ini bahwa rancangan berkelanjutan atau sustainable design yang seharusnya meningkatkan nilai keunikan suatu kota tua (bersejarah) justru malah mengancam keberlanjutannya.
Sang peneliti mengambil contoh kota tua di Eropa, apakah pengunjung, dan tentunya warga mengharapkan gambaran kota tuanya seperti sekarang? atau dengan berbagai bentuk tambahan dari arsitektur-arsitektur baru dengan bentuk beragam?
Sekarang mengambil contoh di Indonesia, apakah kita ingin melihat Yogya yang berkraton dengan skala bangunan rendah dengan semua peninggalan bersejarahnya? atau Yogya metropolitan dengan arsitektur kontemporer berbagai bentuk, warna dan ketinggian? Yang manakah wajah Yogya yang paling baik? Manakah wajah Yogya yang kita inginkan?
Selasa, 01 Juni 2010
Louvre: Seni dan Tragedi
Louvre, kompleks istana raja Prancis dari abad pertengahan. Hari ini kompleks istana ini lebih dikenal sebagai museum seni terbesar di Prancis. Louvre identik dengan seni dan lukisan Leonardo da Vinci « Monalisa » serta patung Venus de Milo dan Winged Victory-nya. Mengunjungi Louvre tidak cukup dilakukan satu kali. Terbagi dalam tiga sayap dengan ruang bawah tanah, total luas museum mencapai 60.600 m2. Museum ini menampung hampir 400.000 benda dan karya seni.
Terletak di sisi sungai Seine, bagi para arsitek Louvre adalah piramid kaca I.M. Pei. Karya yang sempat menjadi kontroversi tapi sekarang dipuji. Piramid kaca terbesar yang merupakan atap menutup galeri utama museum di bawah tanah sekaligus pintu masuk ke galeri mendominasi landscape lapangan (taman) kompleks Louvre. Di dalam galeri bisa ditemukan piramid terbaliknya yang mengundang decak kagum. Piramid terbalik yang juga menjadi penutup dalam adegan akhir film The Da Vinci Code. Karya ini akhirnya ditasdik sebagai contoh baik dalam merespon kebutuhan dan konteks bangunan bersejarah warisan budaya.
Akan tetapi, tak banyak yang tahu sejarah kelam Louvre. Di sini terjadi pembantaian penganut Protestan oleh penganut Katolik. Malam Saint Barthelemy adalah malam genosid yang membunuh ratusan penganut Protestan di Paris. Bahkan wanita dan anak-anak pun tak luput dari pembantaian. Mayat-mayat bertebaran di lapangannya, bergelantungan di jendelanya. (Calon) raja pada masa itu, Henry IV, awalnya adalah penganut Protestan. Ia dengan cerdik berkonversi menjadi Katolik demi menyelamatkan diri dan akhirnya dinobatkan menjadi raja.
Raja besar Prancis, Le Roi du Soleil, Louis XIV juga mengalami trauma di tempat yang sama. Keluarga kerajaan diserang oleh kelompok bangsawan. Episode ini dikenal sebagai Episode Fronde. Louis XIV kecil dan ibunya, bangsawan Medici dari Firenze- Italia, dilarikan oleh perdana menteri mereka, Mazarin, yang juga berasal dari Italia, sementara sang raja terbunuh. Louis XIV pun naik takhta di usia yang sangat muda.
Di kemudian hari, salah satunya akibat dari trauma ini, Louis XIV memindahkan pusat kekuasaan kerajaan ke Versailles. Louvre ditinggalkan dan dijadikan kediaman artis serta tempat menyimpan koleksi seni kerajaan.
Louvre menjadi tempat menyimpan berbagai koleksi kerajaan hingga terjadinya revolusi Prancis yang mengubah wajah kerajaan menjadi republik. Istana ini pun diputuskan untuk difungsikan sebagai museum tempat menyimpan kekayaan nasional. Ia sempat ditutup selama empat tahun pada akhir 1800an. Pada masa pemerintahan Francois Mitterand, Louvre diberi piramid terkenalnya melalui tangan I.M. Pei.
Langganan:
Postingan (Atom)