Dirgahayu
Bandung ke-202, 25 September 2012. Selama lebih dari 200 tahun perjalanan,
sudah menjadi apakah kota ini? Semakin sehat atau semakin sakit? Akan dibawa ke
mana ia di tahun-tahun mendatang?
Bandung selalu
mengundang. Pesonanya yang rapuh selalu mampu membawa orang datang ke kota ini
entah untuk tinggal maupun sekedar singgah. Beberapa tahun terakhir, Bandung
berubah menjadi semakin metropolitan dengan bermunculannya struktur-struktur
tinggi di berbagai bagian kota yang seolah tanpa rencana. Atau memang tidak
terencana?
WHO (2001) mengidentifikasi
sebelas kriteria kota sehat, yaitu,
bahwa kota harus merupakan lingkungan fisik yang aman, bersih, berkualitas
tinggi; ekosistem yang stabil dan berdaya dukung untuk jangka panjang; komunitas
yang kuat dan saling mendukung; memiliki tingkat partisipatif dan kontrol publik
yang tinggi terhadap berbagai kebijakan yang mempengaruhi hidup, kesehatan, dan
kesejahteraan warganya; adanya pemenuhan kebutuhan dasar untuk semua warga
kota; adanya akses yang luas kepada pengalaman hidup dan sumber daya kota
dengan berbagai kesempatan terhadap kontak sosial, interaksi dan komunikasi;
ekonomi kota yang inovatif, vital dan beragam; adanya dorongan untuk selalu
berhubungan dengan sejarah, warisan biologis dan warisan budaya warga kota;
kompatibel dan mampu meningkatakan karakteristik kota yang telah ada; adanya
pelayanan optimum terhadap kesehatan masyarakat yang layak bagi semua warga
yang sakit; memiliki status kesehatan yang baik. Kehilangan satu dari kriteria
tersebut, maka berarti tingkat kesehatan kota tersebut menurun. Bagaimana
dengan Bandung?
Dari sebelas kriteria
tersebut, berapa yang bisa dipenuhi oleh Bandung? Akan terlalu panjang untuk
mengulas ke-11 kriteria kota sehat tersebut satu per satu. Penulis akan
berfokus pada beberapa poin kriteria dalam pembahasan ini, yaitu, yang pertama adalah
lingkungan fisik yang aman, bersih, berkualitas. Tingkat keamanan di Bandung
menurun. Di surat kabar cukup sering ditemukan surat pembaca yang isinya meminta
agar surat-surat berharga yang “terambil” orang dikembalikan pada pemiliknya.
Pun demikian dengan kebersihan. Cukup banyak ulasan berita dan foto terpampang
menunjukkan tumpukan sampah di pinggir jalan. Hal ini diperparah sikap warga bermental
sampah. Mereka menganggap ruang kota sebagai tempat sampah besar sehingga
dengan bebasnya melempar berbagai sampah dari dalam mobil ke jalan atau sungai.
Belum lagi masalah air bersih yang terbatas.
Poin berikutnya “adanya
akses yang luas kepada pengalaman hidup dan sumber daya kota dengan berbagai
kesempatan terhadap kontak sosial, interaksi dan komunikasi”. Banyak apartemen
dan hotel tinggi sekarang tengah dibangun. Hunian-hunian vertikal berdiri megah
di berbagai sudut kota tanpa pengaturan yang jelas. Rumah-rumah cul-de-sac pun
semakin merajalela. Dinding kokoh membenteng rumah-rumah mewah yang pada
akhirnya memutus komunikasi antara penghuni yang sebetulnya saling bertetangga
dan semakin menampakkan kesenjangan sosial yang memang sudah tampak. Pengalaman hidup di kota pun menjadi semakin monoton
dengan berdirinya mal-mal baru. Meskipun banyak mal gagal menarik simpati
pengunjung, selalu muncul mal baru di sisi kota yang lain. Interaksi sosial dan
komunikasi menjadi barang langka. Orang hanya sekedar saling melihat tanpa
perasaan di dalam mal. DK Halim dalam Psikologi Lingkungan Perkotaan (2008)
menyatakan bahwa banyaknya mal bukanlah tanda peningkatan ekonomi suatu kota
tetapi tanda sakitnya suatu kota. Benih-benih perpecahan pun bermunculan
didukung oleh individualisasi warga kota dalam hunian vertikal dan mal.
Juga penting
untuk melihat “adanya dorongan untuk selalu berhubungan dengan sejarah, warisan
biologis dan warisan budaya warga kota” yang terkait erat dengan poin “kompatibel
dan mampu meningkatkan karakteristik kota yang telah ada”. Warga kota yang baik
dan sehat adalah warga yang peduli dengan sejarah dan budaya kotanya. Disitulah kedinamisan budaya berkembang. Kota yang tidak
peduli dengan sejarahnya sama seperti orang yang mengalami hilang ingatan.
Sejarah dan budaya kota membentuk karakter kota tersebut. Warga kota harus
dapat melihat perkembangan kotanya melalui lapisan-lapisan kota yang terbentuk.
Bandung memiliki
karakter kuat sebagai kota abad 20 yang dibangun sangat terencana dengan
perkembangan pesat. Kota ini membutuhkan
orang-orang kompeten yang mampu meningkatkan karakteristik kota yang telah ada.
Namun yang terjadi saat ini adalah ketidak-kompetenan mengambil alih kota
secara paksa sehingga karakter kota yang khas berkurang dari hari ke hari
digantikan apartemen dan hotel-hotel mewah.
Lihat saja
kawasan Braga yang gedung-gedung berarsitektur art-deconya berguguran satu demi
satu. Dimulai dengan munculnya Braga city walk yang menjadi mal sepi
pengunjung, disusul dengan hotel Genuci berlantai lima belas, dan sebentar lagi
hotel Ibis berlantai entah berapa belas. Karakter Braga yang ramah pejalan kaki
dan aman semakin menghilang. Belum lagi jalan andesit yang bermasalah. Daripada
membuat Braga sekarat dalam waktu tak terbatas, apakah tidak lebih baik jika
kawasan ini di-euthanasia saja sekalian?
Bandung 202 tahun rupanya belum mendapat perhatian layak dari warga dan
para pemangku jabatannya. Ia dipaksa menjual diri untuk kepentingan komersil
kalangan tertentu. Meskipun pamornya tak pernah turun, ia kelelahan dan
terbebani. Untungnya semakin banyak anak-anak Bandung yang berkarya untuk
menyelamatkannya. Rupanya, “hantu-hantu” Bandung baheula tetap menebar
pesonanya (penulis, PR 2011).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar