Foto ini adalah artikel yang terbit 19 April 2012 di HU Pikiran Rakyat. Di bawah adalah tulisan asli yang saya kirim ke redaksi berikut revisinya.
Tanggal 18 April
adalah hari monumen dan situs internasional yagn ditetapkan oleh ICOMOS
(International Council on Monuments and Sites). Kota Bandung yang merupakan
kota dengan kekayaan budaya dan kekayaan monumen abad 20 dan kekayaan situs
bersejarah lainnya meryakannya dengan penghancuran gedung-gedung tua pembentuk
wajah kota dan penelantaran situs-situs.
Belum lama ini
berita pembongkaran SMAK Dago muncul di media. Bangunan yang berdiri
berdampingan dengan SMAN 1 Bandung, yang juga merupakan gedung tua, tersebut
telah kehilangan atapnya. Sungguh mengejutkan, mengingat belum lama ini lahan
dan bangunan disengketakan oleh orang-orang yang berkepentingan. Sudah
selesaikah sengketa tersebut?
Terlepas dari
permasalahan sengketa, Kota Bandung sudah memiliki Perda dan Perwal mengenai
perlindungan kawasan dan cagar budaya. Rupanya aturan-aturan ini tak bergigi
menghadapi para investor yang minim kepedulian terhadap lingkungan.
Penulis
mengangkat berita pembongkaran SMAK Dago sebagai pemenuhan Hak dan Kewajiban penulis
selaku warga kota yang telah menghuni kota ini sejak lahir untuk:
“menikmati keberadaan kawasan dan/atau
bangunan cagar budaya; memperoleh informasi yang berkaitan dengan pengelolaan
dan/atau bangunan cagar budaya; berperan
serta dalam rangka pengelolaan kawasan dan/atau bangunan cagar budaya sesuai
dengan peraturan perundang-undangan” pasal 7 Perda no. 19 thn 2009.
“...menjaga kelestarian kawasan dan/atau
bangunan cagar budaya serta mencegah dan menanggulangi kerusakan kawasa
dan/atau bangunan cagar budaya” pasal 8 Perda no. 19 thn 2009.
Pembongkaran
terhadap suatu “monumen” yang diduga memiliki nilai kesejarahan, menurut Perda
dan Perwal, ijinnya hanya bisa dikeluarkan oleh Walikota. Namun, mengingat UU
no. 11 tahun 2012 2010 mengenai
Cagar Budaya, pemerintah kota maupun pemerintah daerah tidak berhak
mengeluarkan ijin pembongkaran. Dalam UU tersebut tercantum tugas-tugas
pemerintah berkaitan dengan perlindungan cagar budaya. Dengan kata lain,
bukankah ini artinya Perwal tadi telah melanggar undang-undang yang ada?
Bukankah seharusnya dengan adanya UU Cagar Budaya, semua peraturan yang
melanggar UU tersebut gugur dengan sendirinya? Di sini saya perlu bantuan ahli
hukum untuk meluruskan pemahaman saya.
Kembali ke SMAK
Dago, apakah pihak pembongkar sudah mengajukan permohonan ijin pembongkaran?
Mengingat sebuah sekolah merupakan fasilitas publik yang boleh, dan seharusnya
bisa, dinikmati publik secara terbuka. Jika belum, maka telah terjadi
pelanggaran terhadap UU no. 10 tahun 2010 no. 11 tahun 2010, Perda no.
19 thn 2009 dan Perwal.
Pihak pemilik,
penghuni, dan pengelola SMAK Dago dan gedung-gedung tua lain, serta situs-situs
di seluruh Bandung ini sebetulnya memiliki kewajiban dan hak untuk:
“...memelihara kelestarian kawasan dan/atau
bangunan cagar budaya; ... yang melaksanakan pemugaran sesuai dengan ketentuan
dan peraturan yang berlaku, berhak mendapat kemudahan perijinandan/atau
insentif pembangunan lainnya, yang ditetapkan dengan perwal” pasal 9 Perda no. 19 tahun 2009.
“...melindungi, memelihara dan melestarikan
lingkungan dan bangunan cagar budaya tersebut; ...wajib melaksanakan
pemeliharaan atau pemugaran sesuai dengan ketentutan yang berlaku...” pasal
10 Perda no. 19 tahun 2009. Bahkan kewajiban tersebut tidak gugur ketika
terjadi sengketa. Bagi kawasan dan cagar budaya yang telah ditetapkan,
perpindahan kepemilikan tidak mengubah status kawasan atau CB tersebut. Bahkan
penelantaran pun, seperti yang terjadi terhadap banyak CB seperti ex Au Bon
Marché, merupakan sebuah pelanggaran peraturan.
Dalam
pelaksanaan pelestarian, pemerintah daerah dapat melakukan penataan dalam
kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya. Kawasan Dago
termasuk di antaranya. Hal lainnya adalah bahwa pengendalian kawasan dan/atau
bangunan cagar budaya harus sesuai dengan rencana kota, dan sebaliknya
rencana kota harus menunjang pelestarian kawasan dan/atau bangunan cagar budaya
(Pasal 21 Perda no 19 tahun 2009). Mungkin bisa disimpulkan dari kalimat
tersebut, bahwa rencana kota yang mengancam perlindungan cagar budaya bukanlah
rencana kota yang bervisi dan bukan rencana yang baik dan benar, karena
melanggar perdanya sendiri?
Satu
permasalahan lagi adalah penggolongan kawasan dan cagar budaya. Dalam UU no.
10 tahun 2010 no. 11 tahun 2010, penggolongan CB hanya didasarkan pada
kriteria daerah (lokal), provinsi, dan nasional. Dalam Perda dan Perwal kota
Bandung masih terdapat penggolongan A, B, C dan seterusnya yang sebetulnya
menyalahi inti dari pelestarian. Kalau mau melestarikan ya lestarikan saja.
Masalah lainnya
muncul kemudian, ketika pemilik lama CB menjual propertinya pada investor yang
tidak peduli lingkungan. Tidak salah untuk menjual properti pada pihak lain,
tetapi alangkah baiknya jika pemilik tersebut memilih investor yang peduli
lingkungan. Beberapa perusahaan (investor) yang peduli lingkungan diantaranya
BJB, OCBC NISP, BTPN, PT. KAI, dan mungkin institusi militer? Saya belum
melihat investor lain yang cukup memiliki kepedulian terhadap lingkungan urban
dan kota tua. Semoga saja lebih banyak lagi investor seperti
perusahaan-perusahaan tersebut agar Bandung tidak penuh oleh bangunan belasan
lantai yang mengambil hak air dan matahari warga sekitarnya, seperti yang sudah
terjadi di Braga dan mungkin juga di tempat-tempat lain.
Selamat hari
monumen dan situs internasional. Mari bersama selamatkan Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar