Saat ini sedang segala sesuatu yang berbau tradisi dan etnik sedang dalam tahap naik daun setelah beberapa tahun ke belakang hal-hal yang sama dianggap kuno dan ketinggalan jaman. Isu yang sedang panas saat ini adalah pemilihan tujuh keajaiban dunia yang baru (The New 7 Wonders of The World). Banyak orang dan tokoh mendukung upaya pemerintah Indonesia dalam mempromosikan pulau Komodo sebagai satu-satunya calon tersisa dari Indonesia agar dapat masuk ke dalam daftar tujuh keajaiban dunia, yang sekarang telah dinyatakan sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia. Pemilihan tersebut diadakan oleh sebuah organisasi bernama sama.
Di tengah pesimisme dan keraguan terhadap kredibilitas organisasi penyelenggara, pemerintah Indonesia tetap gencar menginformasikan kegiatan ini pada masyarakat untuk mendapatkan dukungan. Hal ini dilakukan dengan dalih Borobudur telah dicoret dari daftar tujuh keajaiban dunia. Beberapa kalangan menganggap promosi berlebihan dilakukan terhadap Komodo. Ketidaktahuan dan informasi yang kurang akurat juga mengakibatkan reaksi nasionalisme berlebihan dari masyarakat.
Pada kenyataannya Pulau Komodo telah diakui dunia sejak lama melalui UNESCO, salah satu badan PBB yang bergerak di bidang pendidikan dan kebudayaan, sebagai salah satu warisan dunia yang wajib dilindungi dan dipelihara keberadaannya.
Apa sebetulnya kelebihan dan kekurangan dari pengakuan suatu situs atau warisan budaya oleh lembaga ini? Jika pemerintah setempat pandai mengelola “harta” yang dimiliknya dan cermat dalam melihat kesempatan, pengakuan yang diberikan UNESCO memiliki beberapa kelebihan. Promosi global adalah salah satunya. Banyak orang oksidental beramai-ramai mengunjungi situs-situs berlabel ‘UNESCO’. Labelisasi ini membawa prestise tersendiri bagi situs atau tempat warisan budaya yang menyandangnya.
Kenalkah kita dengan situs dan warisan budaya kita yang telah diberi label oleh UNESCO? Terdapat tujuh situs (arkeologis dan alami) dan empat warisan budaya tak benda berupa unsur kesenian tradisi Indonesia yang diakui dan dilindungi secara internasional. Satu di antaranya tanggal 22 Juni lalu ditetapkan sebagai Cagar Budaya Dunia yang Terancam – World Heritage in Danger.
Empat unsur tradisi yang diakui adalah keris, wayang kulit, batik dan angklung. Praktis semua unsur budya tak benda yang ada di pulau Jawa. Berita terakhir tari Saman akan diajukan sebagai unsur warisan budaya tak benda selanjutnya.
Borobudur, Taman Nasional Lorentz, Taman Nasional Ujung Kulon, Situs Sangiran dan Pulau Komodo adalah lima di antara tujuh situs arkeologis dan alami yang terdaftar. Situs lain adalah Prambanan yang sedikit istimewa karena situs ini selain berada di bawah perlindungan hukum internasional, ia tidak boleh dihancurkan oleh tangan manusia dalam keadaan konflik sekalipun. Situs berikutnya adalah Hutan Hujan Sumatera. Inilah situs yang dianggap UNESCO sedang berada dalam bahaya karena perburuan, pembalakan liar, merambatnya areal pertanian dan rencana pembangunan jalan melewati kawasan hutan lindung.
Kekhawatiran UNESCO tentu beralasan. Jika kegiatan-kegiatan tersebut terus berlangsung tanpa kontrol ketat dan jalan dibangun tanpa perencanaan matang tentu akan memberikan dampak negatif yang sangat besar. Dampak terparah adalah habisnya hutan hujan tersebut oleh pembangunan. Jika pemerintah tak kunjung memperbaiki pemeliharaan hutan dan tetap menjalankan rencana semula, situs inilah yang pertama akan dicoret dari daftar Warisan Dunia dan bisa dipastikan tak akan mendapat banyak bantuan internasional (dalam hal ini UNESCO) seandainya terjadi kerusakan atau bencana. Di saat ada warisan budaya yang jelas-jelas terancam keberadaannya mengapa pemerintah memaksakan untuk memperoleh gelar tujuh keajaiban dunia?
Komodo sudah menjadi milik dunia. Sebelum menjadi milik dunia ia telah lebih dulu kita miliki. Banyak yang membutuhkan perhatian sama besarnya selain Komodo. Seperti Badak Jawa yang hanya tersisa 50 ekor di Ujung Kulon. Jika Badak-badak ini punah, maka Ujung Kulon pun akan dihapus dari daftar warisan budaya dunia UNESCO. Lalu apa pentingnya pengakuan tersebut ?
Masih ingatkah kita ketika Merapi meletus? Korbannya tak hanya rakyat, tapi juga situs-situs bersejarah. UNESCO menutup sementara Borobudur dan Prambanan untuk membersihkan situs dan memperbaiki kerusakan. Akan tetapi para pramuwisata di sana marah-marah dengan alasan UNESCO telah menutup mata pencaharian mereka. Bukankan jika kerusakan tidak diperbaiki dan kotoran tidak dibersihkan tidak akan ada turis yang darang lagi ke sana ? Jika kehilangan tersebut permanen tentu bukan hanya mereka tapi juga kita semua yang akan merasakan akibat jangka panjangnya.
Komodo, Borobudur dan kawan-kawan bukan sekedar peninggalan masa lalu, tapi merupakan bagian dari sejarah asal-usul manusia Indonesia. Jika pemerintah dan masyarakat luas tak mampu mengakui kekayaan alam dan budaya untuk kemudian menjaganya dengan baik, pengakuan dan labelisasi dari luar sebanyak apapun tidak akan berarti apa-apa. Sebaliknya, pengakuan dari dalam yang diikuti upaya pelestarian secara menyeluruh akan lebih bermakna. Setiap warisan budaya ibarat kenangan peninggalan dari orang tua kita, milik generasi sekarang, yang ditinggalkan sebagai sarana pembelajaran bagi kita dan generasi mendatang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar