Berbagai kasus pembongkaran bangunan tua telah terjadi di Bandung hingga 2010. Kasus penghancuran pemandian Cihampelas yang terjadi sebelum terbitnya Perda tentang Pengelolaan Kawasan dan Bangunan Cagar Budaya pada 2009, disusul lagi dengan pembongkaran bangunan di Jalan Braga, dan kemudian pembongkaran bekas hotel Harapan Eka Graha yang dijadikan lahan parkir yang menuai protes serta tangis para veteran pejuang kemerdekaan adalah beberapa contohnya. Belum lama ini, beberapa kalangan masyarakat kembali dihebohkan oleh pembongkaran bangunan tua, kali ini kolam renang Centrum, yang kabarnya akan dijadikan restoran.
Tak berhenti di situ, berbagai bangunan lama, entah disengaja atau memang tak ada biaya, dibiarkan rusak dan lapuk. Tak perlu jauh-jauh, di sebelah Majestic, di Jalan Braga yang diklaim sebagai ikon Parijs van Java, bangunan bekas toko au bon marche dibiarkan merana menunggu ajal. Masih banyak lagi bangunan-bangunan tua yang bernasib serupa dan akan mengalami nasib serupa.
Belum lagi kondisi museum yang kurang gereget, seolah keberadaan hanya untuk menambah panjang daftar museum kota. Banyak di antaranya tidak dikenal masyarakat. Dari sekian banyak museum di Bandung, hanya sedikit yang populer. Museum KAA, Museum Geologi, Museum Pos, dan Museum Sri Baduga adalah beberapa di antaranya. Di antara sedikit yang populer itu, sepertinya hanya Museum KAA yang memiliki semangat tinggi dengan berbagai acara yang diadakannya.
Cagar budaya lebih dari sekadar benda atau bangunan. Cagar budaya meliputi juga kawasan, tradisi, dan masyarakat sebagai pelaku pelestari. Apresiasi dan pemahaman masyarakat (dan juga pemerintah) tentang cagar budaya sangat penting demi pelestariannya.
"Kita tidak bisa menjaga semua" begitulah komentar beberapa praktisi pelestarian di Prancis, yang di antaranya adalah staf Kementerian Kebudayaan Prancis, dalam perkuliahan program master pelestarian di negeri itu. Kalimat itu ada benarnya, terutama mengingat proses pembangunan yang dinamis dan zaman yang akan terus berubah. Seleksi dalam pelestarian pun mutlak terjadi. Misalnya di Bandung, jumlah bangunan yang dinyatakan sebagai cagar budaya menyusut jumlahnya, dari 500-an bangunan menjadi 200 (diusulkan dalam draf perda), dan kini hanya 100 (tertulis 99 nomor dalam daftar cagar budaya perda, tetapi jika diteliti terdapat 100 alamat yang berbeda) yang diakui pemerintah daerah dan masuk dalam lampiran perda. Inilah contoh seleksi yang memahami konsep pelestarian secara parsial.
Tidak semua benda atau kawasan dapat dikatakan cagar budaya dengan menganalisis nilai-nilai kepentingannya berkaitan dengan sejarah. Namun melihat pelestarian semata sebagai beberapa bangunan yang dianggap penting sehingga masuk dalam daftar cagar budaya yang dilindungi perda juga tidak benar. Pelestarian harus dilihat sebagai konsep menyeluruh meliputi kawasan, tradisi, dan pelakunya.
Masyarakat Indonesia, terutama investor, dan kadang pemerintahnya, cenderung melihat kawasan kota tua sebagai pengganggu dan penghambur anggaran. Akan tetapi, ironisnya mereka merasa lebih bergengsi jika bisa berwisata ke kota-kota tua di negara lain, terutama Eropa. Apa sebenarnya yang dilihat di Eropa? Kota tua, peninggalan arkeologi, museum. Itulah yang memberi gengsi pariwisata di Eropa. Hal itu menunjukkan dualisme dari para pelaku investasi dan bisnis. Mereka memilih menghancurkan satu bangunan bagian dari kawasan kota tua atas nama pembangunan, tetapi memilih menikmati kota tua di negara lain ketimbang jenis mal seperti yang mereka ciptakan di kawasan kota tua di negerinya sendiri. Inilah yang mengganggu kelanjutan suasana kawasan secara keseluruhan. Tak lagi ditemui kontinuitas suasana kawasan karena karakternya terganggu oleh bangunan-bangunan baru yang muncul sesuka hati.
Jika kondisinya dibalik, hal yang sama pun berlaku. Masyarakat barat (Eropa, Amerika, Australia) tidak berwisata untuk berbelanja, tetapi mencari keunikan di satu kota atau kawasan. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa perilaku (sebagian kecil) masyarakat Indonesia (beruang) yang cenderung menghancurkan pusakanya sendiri justru membuang potensi pariwisata budaya.
Di satu sisi, perubahan fungsi bangunan tidak bisa dihindari dalam mengikuti perkembangan zaman. Akan tetapi, pelestarian penting dilaksanakan demi terjaganya memori kolektif agar identitas kota terjaga. Kota tanpa pengingat sejarah akan mengalami amnesia dan pada akhirnya kehilangan identitas. Identitas baru memang bisa diciptakan dalam kurun waktu tertentu, tetapi tetap akan berada di bawah bayang-bayang sejarahnya. Meski Bandung telah diklaim sebagai ibu kota Asia Afrika di tahun 1955 dan kota kreatif dekade ini, tetapi hantu Parijs van Java tetap melekat kuat atau dilekatkan kuat sebagian warganya.
Apa yang akan terjadi dengan Kota Bandung dan warisan budayanya pada 2011? Akankah hantu Parijs van Java tetap mengikuti? Seberapa besar harapan bagi dunia pelestarian di Bandung? Warisan budaya tidak hanya milik masa kini, tetapi terutama adalah milik masa depan, milik generasi mendatang. Untuk generasi mendatanglah kita menjaga dan melestarikannya hari ini.***
Dimuat di HU Pikiran Rakyat, Senin 3 Januari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar