Pada abad ke 15, bangsa Portugis untuk pertama kali menjejakkan kaki di Nusantara. Dengan sendirinya proses akulturasi budaya pun berlangsung. Salah satu peninggalan akulturasi budaya ini adalah musik keroncong.
Secara sederhana keroncong adalah musik gamelan yang dimainkan dengan alat musik Eropa yang didominasi alat musik senar seperti gitar. Sementara untuk vokal mengikuti irama pelog atau slendro.
Di Indonesia jenis musik ini sekarang dinilai kuno dan ketinggalan jaman. Hanya sedikit kelompok masyarakat yang masih menikmati warisan budaya ini. Saya ingat ketika saya kecil ayah dan kakek saya senang sekali dengan musik keroncong. Beberapa nama musisi yang saat itu terkenal adalah Muljiono bersaudara.
Bulan Mei yang lalu, saya berkesempatan mengunjungi pasar Indies (sekarang menjadi pasar Eurasia) yang bernama Tongtong Festival di Den Haag, Belanda.
Tongtong Festival bermula dari inisiasi seorang warga Belanda keturunan Indonesia yang beremigrasi setelah perang kemerdekaan karena ia menemui kesulitan hidup sebagai WNI. Ketika itu sentimen anti Belanda masih sangat kuat bergaung dan hal ini mempersulit kehidupan warga campuran.
Pada awalnya Tongtong Festival diperuntukkan sebagai sarana temu kangen dan kumpul-kumpul para penduduk ex-Hindia Belanda namun kemudian berkembang dan menjadi pasar malam Eurasia terbesar di Belanda. Di pasar tersebut bisa ditemukan berbagai produk makanan, pakaian, pernak-pernik khas Indonesia (Jawa). Bahkan ada area khusus yang diperuntukkan bagi produk-produk asli Indonesia di Indonesian Pavilion.
Dalam festival tersebut dihadirkan kelompok musik Keroncong Tugu dari Jakarta, Indonesia. Kelompok ini telah mengisi acara hiburan di Tongtong Festival secara rutin sejak 1989.
Untuk sementara keroncong masih hidup di pasar malam Tongtong Festival. Bagaimanakah kelanjutannya di masa depan di nusantara?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar