Selasa, 20 Juli 2010

Musée de la Mine - Museum Tambang

Museum ini berada di kota kecil Prancis yang bernama Saint Etienne. Kota ini kecil sekali. Jumlah penduduknya hanya 250 ribu orang. Coba bandingkan dengan Bandung yang jumlah penduduknya 10x lipatnya. Meskipun kecil di kota ini terdapat beberapa museum. Salah satu museum paling menarik yang pernah saya kunjungi di seantero Eropa ternyata malah ada di kota ini. 

Musée de la Mine atau museum tambang, begitulah namanya, adalah sebuah museum tematik. Museum ini sesuai dengan namanya merupakan museum yang menyimpan koleksi dari aktivitas penambangan batu bara yang pernah berjaya di kota itu selepas perang dunia kedua hingga dihentikan sekitar tahun 1970-an. Tak hanya menyimpan koleksi, museum ini benar-benar berada di eks-tempat penambangan batu bara. Situs bekas penambangan batu bara bawah tanah dimanfaatkan sebagai sarana penyampaian informasi pada pengunjung. 

Pengunjung harus mengantri untuk bisa mengunjungi museum ini. Di bagian penjualan tiket pengunjung akan diberikan nomor kelompok keberangkatan. Biasanya pengunjung harus menunggu sekira 15-30 menit untuk masuk. Pengunjung akan diminta menunggu di satu bagian situs tempat para penambang berganti pakaian. Di ruangan luas itu dengan rantai besi di langit-langit tergantung baju-baju lusuh para penambang. Suasana sedikit spooky jika kita hanya sendirian di ruangan itu.


Seorang pemandu kemudian memanggil kloter-kloter pengunjung berdasarkan urutan yang didapat di meja tiket. Melewati lorong dan ruang mandi, pengunjung kemudian diminta memakai helm kuning penambang yang disediakan. Kami pun turun dengan lift. Di ruang bawah tanah, kami dipersilakan menaiki kereta yang dijalankan secara otomatis. Kereta itu sebenarnya adalah pengangkut batu bara, dulu. Kereta akan berhenti sekali-sekali hingga di titik tertentu pengunjung dipandu untuk turun dan melanjutkan kunjungan dalam gua tambang dengan berjalan kaki. 


Di sepanjang lorong gua itu terdapat beberapa televisi yang menayangkan penjelasan tentang tambang dan proses penambangan. Suasana dalam tambang pun dibuat mengikuti keadaan sebelumnya dengan penempatan peralatan tambang, patung-patung manusia dan kuda (dulu kuda juga dibawa masuk ke dalam tambang sebagai pengangkut batu bara dan tinggal dalam tambang) ditambah dengan backsound atau latar suara kuda dan bunyi alat-alat tambang. 

Di dekat tempat penjualan tiket terdapat toko suvenir kecil, ruang audio visual dan ruang pameran temporer. Semua memanfaatkan bangunan yang ada di sekitar situs. Meskipun dari luar tampak kumuh, tua dan tidak terurus, ide memanfaatkan tempat ini sebagai museum tematik patut diacungi jempol.

Sebenarnya saya tidak terlalu betah berada di dalam tanah, tapi saya menikmati menaiki kereta pengangkut batu bara dan  ingin mengunjungi lagi museum ini jika ada kesempatan. 

Note: Foto milik http://pl.tripadvisor.com/ 

Minggu, 18 Juli 2010

Keroncong dan pasar malam: perkenalan singkat


Pada abad ke 15, bangsa Portugis untuk pertama kali menjejakkan kaki di Nusantara. Dengan sendirinya proses akulturasi budaya pun berlangsung. Salah satu peninggalan akulturasi budaya ini adalah musik keroncong.

Secara sederhana keroncong adalah musik gamelan yang dimainkan dengan alat musik Eropa yang didominasi alat musik senar seperti gitar. Sementara untuk vokal mengikuti irama pelog atau slendro.

Di Indonesia jenis musik ini sekarang dinilai kuno dan ketinggalan jaman. Hanya sedikit kelompok masyarakat yang masih menikmati warisan budaya ini. Saya ingat ketika saya kecil ayah dan kakek saya senang sekali dengan musik keroncong. Beberapa nama musisi yang saat itu terkenal adalah Muljiono bersaudara.

Bulan Mei yang lalu, saya berkesempatan mengunjungi pasar Indies (sekarang menjadi pasar Eurasia) yang bernama Tongtong Festival di Den Haag, Belanda.

Tongtong Festival bermula dari inisiasi seorang warga Belanda keturunan Indonesia yang beremigrasi setelah perang kemerdekaan karena ia menemui kesulitan hidup sebagai WNI. Ketika itu sentimen anti Belanda masih sangat kuat bergaung dan hal ini mempersulit kehidupan warga campuran.


Pada awalnya Tongtong Festival diperuntukkan sebagai sarana temu kangen dan kumpul-kumpul para penduduk ex-Hindia Belanda namun kemudian berkembang dan menjadi pasar malam Eurasia terbesar di Belanda. Di pasar tersebut bisa ditemukan berbagai produk makanan, pakaian, pernak-pernik khas Indonesia (Jawa). Bahkan ada area khusus yang diperuntukkan bagi produk-produk asli Indonesia di Indonesian Pavilion.

Dalam festival tersebut dihadirkan kelompok musik Keroncong Tugu dari Jakarta, Indonesia. Kelompok ini telah mengisi acara hiburan di Tongtong Festival secara rutin sejak 1989.
Untuk sementara keroncong masih hidup di pasar malam Tongtong Festival. Bagaimanakah kelanjutannya di masa depan di nusantara?

Jumat, 09 Juli 2010

Mengintip MAXXI: Karya baru Zaha Hadid di Roma


Bangunan baru karya arsitek terkenal tentu sangat sayang untuk dilewatkan terutama oleh orang-orang berlatar belakang pendidikan arsitektur atau menaruh minat pada dunia arsitektur. 

Pembukaan MAXXI atau Museo Nazionale delle Arti del XXI secolo (museum nasional seni abad 21) di Roma ini dilakukan tanggal 31 Mei lalu setelah sepuluh tahun masa penantian dan menelan biaya 150 juta Euro. Berdasarkan master plan yang dipamerkan, tampaknya proyek ini belum selesai 100%, saat ini dua bagian gedung dalam master plan masih belum dibangun.

Terletak di kawasan Flaminio pinggir kota Roma, di dekat stadion AS Roma, dengan latar (setting) lingkungan urban bekas daerah militer dan dikelilingi kompleks perumahan, MAXXI mengambil langgam arsitektur dekonstruksi seperti karya-karya Zaha Hadid yang lain. Museum ini sangat menawan jika dilihat dari taman/plazanya, tapi tidak demikian jika dilihat dari jalan utama.

Secara keseluruhan museum dibangun dengan material beton abu halus tanpa pelapis. Dinding lobby menggunakan material kaca dan tangga menggunakan material baja karena dibuat tanpa kolom penunjang tetapi mengandalkan dukungan balok dan bracing baja sehingga terkesan melayang. Bagian depan memanfaatkan fasad bangunan sebelumnya yang berlanggam neoklasik. Hal ini tampaknya dilakukan untuk memenuhi aturan ketat pemerintah Italia tentang konservasi.

MAXXI terdiri dari tiga lantai yang tersusun dari lima galeri, lobby, toko buku dan Standing caffetaria di sudut utara bangunan. Bagian interior memiliki alur menarik sekaligus membingungkan. Ramp-ramp dan tangga-tangga dirancang sedemikian rupa untuk mengarahkan pengunjung. Pengunjung dapat memulai tur di lantai dasar dari galeri 1 (galeri seni) di sisi selatan atau dari galeri arsitektur di sisi utara. Kedua galeri di lantai dasar terpisah oleh lobby, ruang servis dan toko. Dari galeri 1 di lantai dasar, pengunjung harus menggunakan lift untuk naik ke lantai satu menuju galeri 2. Ruang galeri 2 di lantai satu terhubung ke galeri koleksi arsitektur di lantai dasar melalui dua tangga di ujung kiri dan kanan galeri arsitektur. Bagian ini sengaja dibuat menipu pengunjung karena seolah membawa pengunjung ke bagian lain tapi hanya membawa kembali ke area yang telah dikunjungi.

Sayangnya bangunan ini melupakan hal penting, yaitu penutup atap di bagian pintu masuk. Bangunan dengan massa yang dinamis menyebabkan beberapa bagian bangunan bertemu (bergabung) sementara bagian lainnya terpisah. Salah satu perpisahan massa "kebetulan" terjadi di bagian pintu masuk sehingga ketika hari hujan bagian ini pun menjadi basah total. Hal lain yang disayangkan adalah pemasangan lampu penerangan di sepanjang jalur pejalan kaki di area plaza yang ditutup karet dan ditinggikan lima sentimeter di atas permukaan lantai. Keberadaan lampu-lampu ini menyebabkan beberapa pengunjung (di antaranya saya) tersandung setiap saat.

Tiga hari setelah pembukaan hujan turun mengguyur kota Roma. Di galeri museum hujan meninggalkan jejaknya melalui kebocoran di antara pertemuan atap kaca dengan lantai beton. Konstruksi bagian pertemuan dua material yang berbeda memang tidak pernah mudah dan air pun menetes membasahi lantai galeri serta membuat pulau-pulau air di langit-langit. Jika hal ini terjadi di Indonesia akan terjadi dua kemungkinan: arsitek disalahkan karena membuat desain yang terlalu rumit atau kontraktor disalahkan karena tidak becus membangun.

Arsitektur dekonstruksi Zaha Hadid tampaknya merupakan konstruksi yang harus berdiri lepas dari sekelilingnya. Ini tampak sekali dari pertemuan bidang antara bangunan baru dengan fasad lama yang menghadap ke jalan utama. Pertemuan antara keduanya tidak begitu indah dan tusukan-tusukan bidang Hadid tampak memaksakan diri untuk tampil. Ia mempenetrasi habis fasad lama. Oleh karena itu museum ini tidak tampak menawan jika dilihat dari jalan utama. Hingga hari ini belum ada foto yang menampilkan MAXXI dari arah jalan utama. 

Di MAXXI, seorang ibu bertanya pada anaknya yang berusia sekitar 4-5 tahun: Ti ha piacuto questo museo strano? (Kamu suka museum aneh ini?) Jawab si anak: Si, anzi no (ya tapi juga tidak). Rupanya apa yang di mata arsitek tampak bagus dan menawan, belum tentu seperti itu di mata awam dan hal ini juga dipengaruhi oleh latar pendidikan serta budaya setempat.

Well, I guess beautiful thing isn't everything they say.