Seorang arsitek, ketika ia merancang sebuah bangunan, besar maupun kecil, apakah harapannya?
Seorang arsitek selain ingin memenuhi kebutuhan kliennya, ia juga ingin mengungkapkan ekspresi seni yang dimilikinya. Ia berpuisi dengan karyanya. Karya arsitektur berdialog dengan para pemakainya. Ia menyampaikan pesan-pesan sang arsitek yang mungkin tak tertangkap oleh pengamatnya.
Arsitektur, suatu karya yang tidak dibuat untuk sekedar memenuhi kebutuhan sesaat yang hanya berlangsung satu dua tahun, kecuali dibuat dalam kegiatan pameran yang hanya berlangsung satu dua minggu. Itu pun banyak karya yang pada akhirnya menjadi abadi.
Setiap arsitek yang berkarya tentu berharap karyanya abadi. Apalagi jika karya tersebut dinilai sebagai sebuah maha karya atau bahasa gayanya master piece oleh pengguna atau pengamatnya. Tentu sang pembuat karya tak akan rela seandainya karyanya tersebut di kemudian hari lalu diacak-acak orang-orang tak berselera seni demi memuaskan hasrat liar pemilik barunya.
Beberapa bulan yang lalu saya membawa dua pasang turis asal Belanda untuk melakukan tur arsitektur di sekitar Bandung. Salah seorang diantaranya adalah seorang arsitek. Hans namanya. Ketika kami berada dalam Gereja Bethel ia memberikan suatu pemikiran baru mengenai arsitek dan arsitektur.
"Pikirkan, jika peralatan elektronik saja, yang dijual secara masal, dilepas ke pasar dengan buku manual penggunaan. Bukankah seharusnya setiap karya arsitektur pun memiliki buku petunjuk pemakaian? Warna cat yang seharusnya dipakai, perawatan-perawatan yang harus dilakukan, perubahan-perubahan yang mungkin dilakukan sesuai dengan visi arsitek pembuatnya."
Apa yang dikatakan Hans ada benarnya juga. Meskipun untuk analogi peralatan elektonik, sering kali pemakai tidak membaca buku petunjuknya. Namun jika dikaji lagi, suatu karya seni seperti lukisan, literatur, musik, tari atau patung, tidak pernah ada orang yang berani mengubah karya tersebut seenaknya. Jika pun karya tersebut dinilai jelek dan tak bernilai, kemungkinan besar karya tersebut akan tersisih dan kemudian terbuang, di luar isu-isu politik, religius dan sosial yang sering mewarnai polemik penghargaan terhadap suatu karya seni.
Pun sama halnya dengan arsitektur. Arsitektur juga merupakan karya seni seperti juga karya seni lain. Beberapa tersisih atas nama politik, agama, bahkan bisnis. Yang lain, yang tersisa, bertahan di antara puing-puing kekacauan yang semakin menggila.
Kenyataan saat ini, karya-karya arsitektur yang dibangun lebih dahulu sering kali kemudian berpindah kepemilikan, kemudian beralih fungsi, berubah wujud dan lebih parah lagi, hilang di balik riangnya hantaman palu. Satu lingkungan yang tadinya asri dan nyaman, menjadi beragam dan berantakan. Setiap orang dengan egonya ingin menunjukkan kuasa atas apa yang dimilikinya. Hal ini yang kemudian membawa pada kerusakan dalam skala yang lebih besar, kekacauan lingkungan.
Sayangnya kekacauan tersebut juga didukung oleh arsitek-arsitek yang manut menuruti nafsu sang penguasa karya. Padahal kebanyakan arsitek pasti mengiginkan karyanya abadi dan dihargai. Bagaimana karya arsitek hari ini bisa dihargai jika mereka tidak bisa menghargai karya para arsitek sebelum mereka?
*Curahan hati arsitek pelestari*